Jumat, 24 April 2009

The 7 Habits of Highly Effective People

The 7 Habits of Highly Effective People
by: Stephen R. Covey

Etika Kepribadian / Etika Watak
Kajian terhadap tulisan mengenai keberhasilan yang terbit selama 200 tahun terakhir menyingkapkan satu kecenderungan yang jelas. Dalam 50 tahun terakhir, banyak bahasan atas pokok persoalan itu sangat dangkal. Semuanya terpusat di sekitar Etika Kepribadian - dimana keberhasilan dilihat dari segi kepribadian, daya tarik, citra diri dan teknik pergaulan pribadi.
Penulisan sekitar Etika Kepribadian dapat dibagi dalam 2 aliran : (i) dikaitkan dengan sikap mental positif (SMP), (ii) didasarkan pada teknik pergaulan pribadi. Hal terbaik dari situ adalah bahwa Anda mendapatkan ketrampilan berkomunikasi yang memang berharga maupun slogan-slogan SMP yang memang sahih, seperti Your altitude depends on your attitude, atau Anything you can conceive and believe, you can achieve.
Sebaliknya, hal terburuk adalah bahwa pendekatan kepribadian ini dapat hanya menjadi teknik manipulasi atau penipuan. Beberapa buku tentang pergaulan menganjurkan kita untuk seolah-olah memberi perhatian pada kehidupan orang lain guna mengambil keuntungan dari mereka. Dan dari situ ada banyak petunjuk praktis mengenai strategi kekuasaan, pengaruh, ancaman dan taktik tipuan yang hebat.
Tetapi, dalam masa 150 tahun sebelumnya pemikiran yang dominan didasarkan pada Etika Watak – gagasan bahwa keberhasilan hidup dan bisnis didasarkan pada watak atau karakter pribadi.
Kualitas-kualitas dasar (yang bagi kita sudah ketinggalan zaman) seperti integritas, kerendahan hati, ketenangan, keberanian, kejujuran dan ketekunan diyakini sebagai satu-satunya landasan keberhasilan yang kokoh.
Ini tidak berarti bahwa sifat-sifat etika kepribadian tidak penting. Beberapa pantas diinginkan, bahkan diperlukan untuk menunjang keberhasilan, Namun, itu tak sepenting watak dasar seseorang. Tanpa watak yang kuat, daya tarik yang halus dan "ketrampilan mencurangi orang" di dunia ini tidak akan tahan lama.
Kebanyakan orang yang memiliki ketrampilan sekunder ini - yaitu kemudahan sosial dan bakat -tidak memiliki watak utama yang menonjol. Akhirnya, hal ini dengan sendirinya akan nampak dalam hubungan-hubungan jangka panjang mereka, entah itu dengan pasangan hidup, anak-anak, atasan atau mitra usaha.
Jadi watak oranglah - bukan perilaku atau yang diucapkannya - yang lebih banyak bicara mengenai diri mereka. Mengutip ungkapan Ralph Waldo Emerson, "Dirimu sebagaimana adanya lebih nyaring terdengar di telingaku, sehingga aku tidak dapat mendengar apa yang kau katakan."
Kekuatan Paradigma
7 kebiasaan penunjang efektivitas manusia yang digambarkan dalam Ringkasan ini didasarkan pada prinsip-prinsip utama. Mereka yang mempraktekkan 7 kebiasaan ini telah menerapkan prinsip-prinsip itu sebagai landasan prestasi dan kebahagiaannya.
Untuk memahaminya dengan baik, pertama-tama kita perlu mengerti paradigma - apakah paradigma pribadi kita, dan bagaimana mencapai "perubahan paradigma". Istilah paradigma mengacu pada model, pola atau kerangka yang terbentuk oleh pengalaman hidup kita. Paradigma amat menentukan bagaimana kita memandang dan mengartikan dunia ini; dan dengan demikian juga menentukan bagaimana kita bereaksi dan bersikap terhadapnya. Etika Watak dan Etika Kepribadian adalah contohnya.
Paradigma-paradigma ini laksana peta yang kita gunakan untuk menemukan jalan hidup kita di dunia. Pada hakikatnya ada 2 macam, yakni : peta mengenai realitas (sebagaimana adanya) dan peta nilai-nilai (bagaimana seharusnya). Kadang-kadang ke-2 peta tersebut sejalan, kadang tidak. Yang penting kita sadari adalah bahwa kita menggunakannya sebagai acuan untuk menafsirkan segala sesuatu yang kita alami, dan kita hampir tidak pernah mempersoalkan apakah acuan itu tepat atau tidak.
Umumnya orang cenderung yakin bahwa dia melihat realitas secara obyektif - dan toh orang lain melihat situasi yang sama dengan cara yang sama sekali berbeda; tetapi mereka sama-sama yakin akan kebenaran pandangannya. Dengan demikian kita melihat dunia ini bukan sebagaimana adanya, melainkan menurut subyektivitas kita dan akhirnya juga menurut siapa sebenarnya diri kita ini.
Perubahan Paradigma Komandan Kapal Perang
Kisah nyata ini mengenai seorang komandan kapal perang yang mengalami perubahan cara pikir karena berhadapan dengan realita baru. Kisahnya terjadi beberapa tahun lalu, ketika kapal perang AS melakukan latihan perang. Begitu malam tiba, kapal perang tersebut menembus kabut tebal, ketika pengintai melaporkan adanya cahaya lampu.
Kapten kapal menyuruh kirim pesan : "Kita mau tabrakan. Harap Anda putar 20 derajat." Dari balik kabut datang jawaban : "Anda yang harus putar haluan". Kapten kirim lagi "Saya kapten. Putar haluan Anda 20 derajat." Jawabannya : "Saya kelasi. Sebaiknya Anda putar haluan." Kapten geram dan kirim pesan lagi : "Ini kapal perang ! Putar haluan 20 derajat !" Jawabannya ? "Ini mercusuar !"
Kabut dan kegelapan yang menghalangi pandangan kapten mempunyai banyak kesamaan dengan hidup sehari-hari. Prinsip-prinsip – seperti integritas dan kejujuran, pelayanan dan memberikan yang terbaik – mirip dengan mercusuar.
Prinsip-prinsip itu merupakan pemandu dan pedoman baku, dan – sebagaimana hukum alam seperti gravitasi – tak dapat dilanggar pada jangka panjang. Sebagaimana dikatakan mengenai Sepuluh Perintah Allah, "Kita tak dapat menginjak-injak Perintah itu, karena dengan melanggarnya sebenarnya kita hanya menginjak-injak diri kita sendiri".
Mereka itulah realitas yang sebenarnya, dan bukan persepsi kita terhadapnya. Tak mungkin "mercusuar" yang salah. Kalau kita tidak menemukannya di tempat yang seharusnya menurut persepsi kita, kita harus kembali melihat peta kita. Kalau kita mengabaikan atau menyimpang dari peta itu, kita membahayakan diri kita sendiri.
Kenyataan ini sangat penting karena sia-sialah kita mencoba mengubah sikap dan perilaku kita, kecuali kita memahami paradigma - baik itu paradigma sosial, etis, maupun kognitif - dalam kerangka mana kita beroperasi dan dapat mempengaruhi perubahan terhadapnya. Dengan kesadaran akan paradigma-paradigma kita beserta asumsi-asumsinya, secara bertahap kita dapat menguji paradigma-paradigma tersebut di hadapan realitas dan pandangan-pandangan lain. Sebagai akibatnya, hal itu akan membuat kita terbuka terhadap persepsi baru dan menemukan banyak cara pandang baru terhadap sesuatu.
Dimensi Pemikiran Baru
Albert Einstein pernah berkata, "Masalah-masalah penting yang kita hadapi tidak bisa dipecahkan dengan dimensi pemikiran yang kita miliki pada saat masalah tersebut muncul".
Hal itu berlaku bagi masalah-masalah mendalam yang telah muncul selama 50 tahun hidup berdasarkan Etika Kepribadian. Masalah tersebut tidak dapat dipecahkan dengan pemikiran yang melahirkan masalah itu. Pemecahannya memerlukan pemikiran pada dimensi yang baru.
Paradigma baru ini harus merupakan peta yang tepat dalam bidang interaksi manusia yang efektif, dan harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang tidak tergoyahkan. Dimensi pemikiran yang lebih dalam inilah yang menjadi landasan 7 kebiasaan. Ini merupakan strategi yang berpusat pada prinsip-prinsip dan watak.
Prinsip-prinsip ini tidak sama dengan praktek-praktek, yaitu pilihan tindakan tertentu pada situasi dan lingkungan kongkret. Prinsip-prinsip itu juga tidak sama dengan nilai-nilai, karena gerombolan penjahat bisa saja sama-sama menganut 1 nilai tetapi tentu bukan prinsip-prinsip.
Ini merupakan pendekatan "dari dalam ke luar". Pendekatan ini mulai dari kedalaman pribadi seseorang - yaitu paradigma dan motivasi pribadi - dan memanfaatkan pengetahuan akan kedalaman diri itu dalam interaksi dengan dunia luar.
Sebagai contoh, prinsip ini mengajarkan bahwa jika Anda ingin mendapat tanggung jawab yang lebih besar di kantor. Anda harus sungguh menjadi karyawan yang lebih dapat dipercaya, lebih banyak memberi kontribusi, dan tahu lebih banyak - dan bukannya hanya tampaknya saja demikian. Keutamaan watak inilah yang terpenting dan merupakan kunci untuk mencapai pengakuan akan kehebatan Anda, yang sebenarnya sekunder terhadap keutamaan watak tersebut.
Paradigma alternatifnya, yaitu "dari luar ke dalam", membuat orang merasa dirinya sebagai korban lingkungan atau orang lain. Ia dilumpuhkan oleh sikap pasif tanpa aksi, yang diakibatkan oleh keyakinannya bahwa orang lain atau dunialah yang salah kalau sesuatu tidak sesuai dengan harapannya. Bila dijadikan pegangan utama, paradigma ini akan menyebabkan perceraian dalam perkawinan, kesulitan dan kegagalan usaha, pertikaian dengan kekerasan seperti yang terjadi di Irlandia dan Timur Tengah.
Mengapa "Kebiasaan"?
Watak orang terbentuk dari kebiasaan-kebiasaannya. Kebiasaan merupakan kekuatan besar dalam hidup kita karena terus-menerus aktif di bawah sadar. Setiap hari kebiasaan itu menentukan siapa sebenarnya diri kita dan seberapa efektif kita ini.
Menghapus kebiasaan buruk memang amat mungkin, tetapi tidak dapat dilakukan dalam sehari. Kebiasaan itu sering telah berurat akar selama bertahun-tahun, sehingga sangat sulit bagi kita untuk membebaskan diri darinya.
Untuk menumbuhkan kebiasaan baik kita, amat pentinglah untuk menyadarinya sebagai gabungan dari pengetahuan (apa yang harus dilakukan), keahlian (bagaimana melakukannya) dan kemauan (kesedian hati untuk melakukan). Ketiga hal itu penting untuk mewujudkan kebiasaan baik.
Seseorang boleh jadi tidak efektif dalam interaksinya dengan koleganya karena terlalu sering memaksakan pendapat tanpa mau mendengarkan orang lain. Bisa saja, hal ini terjadi karena dia tidak tahu prinsip-prinsip dasar interaksi. Boleh jadi juga ia tidak pernah mempelajari teknik mendengarkan orang lain dengan penuh perhatian, meski dia tahu bahwa harus demikian. Kendati demikian, juga kalaupun ia tahu apa dan bagaimananya, kemampuan mendengarkan tidak akan pernah menjadi kebiasaan kecuali dia mau mendengarkan apa yang hendak dikatakan oleh orang lain.
Kesinambungan Kematangan
Di dunia ini, ada hukum alam untuk kematangan. Seorang bayi berkembang dari ketergantungan pada orangtuanya menjadi mandiri sebelum akhirnya mencapai kematangan pemahaman akan saling ketergantungannya dengan orang di sekitarnya. Ekosistem alam tercermin dalam ketergantungan kolektif dari masing-masing warga masyarakat, satu terhadap yang lain.
Sejalan dengan kesinambungan tersebut, ketergantungan seorang bayi itu paradigmanya adalah Engkau (engkau merawatku; kalau ada salah, itu salahmu). Sedang pada kemandirian remaja, paradigmanya adalah Aku (inilah pilihanku; aku akan mengerjakannya sendiri). Dan dalam masa ke-saling-tergantung-an orang dewasa, paradigmanya adalah Kita (kita bisa bekerja-sama, sebaiknya kita menyatukan kemampuan).
Saling ketergantungan hanya merupakan pilihan orang yang sudah mencapai kondisi mandiri. Mereka yang masih tergantung belum memiliki karakter yang memadai untuk memilih saling-ketergantungan. Mereka tidak cukup bisa mengatur diri sendiri. Saling ketergantungan mencakup aspek : fisik (dapat mengandalkan diri sendiri dan mampu bekerja dalam tim), emosional (menghargai diri sendiri dan mengembangkan pergaulan), dan aspek intelektual (memadukan pemikiran sendiri dengan pemikiran terbaik orang lain).
Karena itulah, 3 dari 7 Kebiasaan itu berkaitan dengan penguasaan diri, dengan kemandirian sebagai sasarannya, dan merupakan "kemenangan pribadi". Di atas dasar watak yang kokoh, Anda dapat meraih "kemenangan (kepribadian) publik" dalam komunikasi dan kerjasama dengan menumbuhkan kebiasaan 4, 5 dan 6. Proses ini tidak bisa dibalik, sebagaimana tidak bisa panen dahulu sebelum menanam. Jadi prosesnya berlangsung dari dalam ke luar.

Kebiasaan 1 : Jadilah Proaktif
Pandangan ortodoks tentang psikologi untuk jangka waktu lama pada abad ini adalah determinisme. Maksudnya adalah bahwa tindakan, watak dan tingkah laku kita ditentukan oleh faktor luar; seperti faktor keturunan, faktor lingkungan, atau faktor psikologis. Dalam pandangan ini, betapa sedikit pilihan bebas bagi manusia.
Paradigma ini jelas lebih cocok untuk kelinci percobaan daripada untuk manusia. Melebihi binatang, manusia mampu memilih reaksi atau tanggapan terhadap rangsangan tertentu. Kita dapat menyadari reaksi-reaksi kita; menganalisa dan menerapkan kehendak kita atas reaksi-reaksi tersebut.
Kita juga punya imajinasi dan kesadaran. Karenanya kita dapat mengambil jarak dan mengatasi realitas sekitar kita, dan bereaksi secara berbeda-beda.
Apa Arti Menjadi Proaktif
"Proaktif" merupakan istilah yang sering membingungkan. Bagaimana-pun, pandangan umum yang banyak diterima - yaitu hanya berarti "mengambil inisiatif" - tidaklah memadai. Lebih dari itu, proaktif berarti bertanggungjawab atas hidupnya sendiri dan atas apa yang menimpa dirinya. Secara harfiah tanggung jawab ini berarti kemampuan memberi tanggapan sesuai dengan pilihan kita.
Orang yang sungguh proaktif mengerti, dan setia pada tanggung jawab ini. Mereka tidak pernah menyalahkan situasi, lingkungan, kondisi atau orang lain. Mereka memilihnya sendiri berdasarkan nilai-nilai, dan bukan perasaan.
Jadi, inti dari sikap proaktif adalah "menulis nilai" berada di atas rangsangan. Orang yang proaktif diarahkan oleh nilai-nilai - dan berlandaskan prinsip-prinsip - yang dengan seksama telah dipilih dan diasimilasikan.
Sebaliknya, orang yang reaktif menjadi begitu karena mereka memilih jadi begitu. Kalau kita dikendalikan oleh kolega dan keadaan, artinya, entah secara sadar atau tidak, kita memperkuat mereka itu untuk mengontrol hidup kita. Tingkah laku orang macam itu sering kali dipengaruhi oleh cuaca terlebih oleh "cuaca sosial". Cerah atau cemberut orang disekitarnya, menentukan prestasinya. Menjadi proaktif berarti menentukan sendiri "cuaca" Anda.
Jadi, Anda Kira Anda Tak Berdaya ?
Ahli psikiatri Victor Frankl berkesimpulan bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik dan tangguh untuk memilih bagaimana sesuatu akan mempengaruhi dirinya, - apa pun yang menimpanya. Hal ini ia temukan waktu dipenjara di kamp konsentrasi Nazi. Di situ ia kelaparan dan disiksa, sementara orangtua, sanak saudara dan istrinya dibunuh.
Dia temukan keampuhan menggunakan ingatan dan imajinasinya untuk memproyeksikan diri keluar dari realitas mengerikan yang mengungkung dirinya.
Kesadaran bahwa ia punya kebebasan dan kekuatan untuk memilih tanggapannya (apapun kekejaman yang dilakukan terhadapnya) merupakan terobosan yang membuat dia (dan banyak orang lain yang mendapat inspirasi darinya) dapat bertahan hidup dalam kengerian saat itu.
Atas dasar gagasan itulah dia mengembangkan kebiasaan yang pertama dan paling mendasar dari orang yang efektif, yakni kebiasaan proaktif.
Bertindaklah atau Anda akan Terlibas
Inisiatif merupakan kecenderungan alami. Sikap proaktif Anda mungkin masih lemah, tetapi toh tetap siap dikembangkan. Dalam hal efektivitas, amat besarlah perbedaan antara orang yang mengambil inisiatif dan mereka yang tidak.
Efektivitas pertama-tama berasal dari pemahaman akan apa saja yang berada dalam "Lingkup atau Lingkaran Minat" kita - yaitu segala hal yang menyerap tenaga, perhatian dan waktu itu. Di dalamnya masih terdapat lingkup yang lebih kecil dari hal-hal yang dapat secara langsung kita pengaruhi - yaitu "Lingkup Pengaruh". Analisis dan tentukanlah kedua hal itu.
Langkah berikutnya adalah menentukan dengan jujur pada lingkup mana kita mencurahkan waktu dan tenaga kita. Semakin proaktif seseorang, semakin ia memusatkan diri pada hal-hal yang dapat ia pengaruhi secara pribadi. Energi yang mereka manfaatkan bersifat positif dan Lingkup Pengaruh-nya meluas ketika mereka berhasil memanfaatkan energinya lebih besar lagi.
Orang yang reaktif akan berkutat pada hal yang berada di luar kemampuan kendalinya. Mereka akan semakin banyak mengeluh, menyalahkan keadaan dan merasa menjadi korban. Sikap negatif ini, bersamaan dengan kealfaan akan hal-hal yang sebenarnya dapat dilakukan, dapat menyebabkan penyempitan Lingkup Pengaruh mereka.
Kemampuan kita untuk membuat janji dan menepatinya - terhadap diri sendiri maupun orang lain - merupakan ukuran yang paling meyakinkan mengenai tinggi-rendahnya proaktivitas kita. Setiap kali menghormati komitmen, kita membangun kekuatan di dalam diri kita untuk membuat komitmen lebih banyak lagi.
Kalau seseorang berpikir bahwa masalahnya ada di luar dirinya, persis pemikiran itulah masalahnya.
Kebiasaan 2 : Mulai Dengan Gambaran Mengenai Tujuan
Pada dimensi yang paling dasar, makna kebiasaan ini adalah memulai setiap hari, setiap aksi atau proyek dengan gambaran tujuan hidup yang jelas dalam benak Anda. Apa yang ingin Anda upayakan dan capai ? Hidup yang bagaimana yang ingin Anda jalani ? Bagaimana hal itu hendak Anda wujudkan ?
Semua itu berfungsi sebagai paradigma "multi guna" untuk mengarahkan segala aksi dan tanggapan kita terhadap segala sesuatu yang melanda kita. Dalam arti tertentu, upaya mengingat kematian akan menghindarkan Anda dari kemungkinan melanggar prinsip-prinsip yang Anda yakini amat penting.
Kebiasaan ke-2 ini juga berarti berpegang pada arah yang jelas, sehingga posisi Anda sekarang ini dapat Anda pahami lebih baik, dan maju ke arah yang tepat. Hal itu juga menyajikan perspektif yang sehat, sehingga Anda terhindar dari "perangkap kegiatan", yaitu berkutat dalam tetek bengek kerepotan hidup tetapi tidak mendekatkan Anda ke arah tujuan. Dengan demikian, sibuk – ataupun efisien – tidak sama dengan efektif.
Kesadaran akan hal yang Anda anggap paling penting merupakan suatu pedoman pasti untuk secara efektif mengerjakan hal-hal yang sungguh bernilai bagi Anda.
Segala Sesuatu Diciptakan Dua Kali
Inilah prinsip mendasar bagi Kebiasaan 2. Produk apapun yang dihasilkan pada mulanya telah ada sebagai konsep. Misalnya, membangun rumah tanpa rancangan, atau gagasan bagaimana jadinya nanti, sungguh merupakan suatu kegilaan.
Namun, banyak orang mulai kerja, karir, bahkan bisnis baru tanpa rencana atau pemahaman akan apa yang hendak dicapai.
Ingatlah kaidah tukang kayu, "Ukur dua kali, potong sekali." Jadi, ingatlah bahwa "ciptaan pertama" – lah yang sesungguhnya Anda inginkan dari ciptaan kedua.
Jadi, camkanlah dalam hati bahwa tidak semua ciptaan pertama itu sungguh-sungguh terencana. Kadang, ciptaan pertama itu adalah rencana atau rancangan buatan orang lain. Orang yang reaktif hidup menurut ‘cetak biru’ itu, dan bukan menurut rencana mereka sendiri.
Manajemen dan Kepemimpinan : 2 Ciptaan
Kepemimpinan adalah ciptaan pertama, manajemen adalah ciptaan kedua. Manajemen menanyakan bagaimana sesuatu ditangani dengan lebih cepat, lebih baik dan lebih efisien. Jadi manajemen merupakan dasar, sedang kepemimpinan ada di atasnya, dengan mempertanyakan : "Apa yang ingin kita capai ?"
Sekarang ini pasar cepat berubah sehingga produk atau jasa dari usaha apapun dapat ketinggalan, sementara produsen dan manajernya masih berusaha menyempurnakannya. Mereka tak dapat mengetahui kondisi pasar sehingga upaya dan perbaikannya sia-sia.
Pemimpinlah yang berkewajiban menjaga organisasinya agar tetap terarah ke sasaran yang telah dirumuskan dengan baik. Dia jugalah yang harus melihat potret keseluruhan, mengetahui kecenderungan pasar, dan melakukan revisi terhadap sasaran tersebut bila perlu. Mereka harus memberitahukan perubahan-perubahan arah tersebut kepada manajemen.

Kebiasaan 3 : Utamakan Prioritas
Kebiasaan 1 memberi Anda hak dan kemampuan mengambil tanggung jawab dan menentukan hidup Anda sendiri.
Kebiasaan 2 memusatkan perhatiannya pada tujuan yang Anda dambakan dan bayangkan dengan sadar dan kreatif, yaitu ciptaan pertama.
Kebiasaan 3 akan membawa Anda ke ciptaan kedua yang melengkapinya. Ini adalah hasil yang kongkret dan dapat diraba, dan merupakan pemenuhan 2 kebiasaan pertama (yang berpusat pada prinsip-prinsip).
Pengelolaan waktu dengan baik sungguh amat penting bagi efektivitas pribadi, khususnya bagi para manajer. Pimpinan dan para penentu arah mungkin hanya mengambil keputusan besar tentang prioritas-prioritas utama. Selanjutnya para manajerlah yang harus menatap prioritas-prioritas itu setiap saat.
Hal itu menuntut disiplin, yang memancar dari dalam diri. Itu berarti disiplin terhadap seperangkat prinsip dan nilai yang memungkinkan kita untuk mengatasi berbagai dorongan, kecenderungan dan kemalasan. Mengutip kata-kata E.M.Gray : "Orang yang sukses biasanya melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh orang yang gagal. Mereka pun tidak suka mengerjakannya karena terpaksa. Ketidak-sukaan mereka itu dikontrol oleh kekuatan tujuan mereka."

Matriks Manajemen Waktu
Mendesak Tidak Mendesak
(Kuadran I) (Kuadran II)
Krisis Pencegahan
Penting Masalah mendesak Pengembangan hubungan
Deadline Perencanaan, Santai

(Kuadran III) (Kuadran IV)
Interupsi Hal remeh
Telepon, Surat Telepon, surat
Tidak Penting Rapat, Laporan Kebiasaan ngerumpi
Kegiatan sosial Kesenangan/Main Game

Semakin Anda memfokuskan diri di kuadran I, semakin dominan kuadran tersebut. Jika masalah yang timbul begitu besar dan melelahkan, satu-satunya pelarian adalah Kuadran IV. Sedangkan Kuadran II dan III diabaikan. Orang yang terus berkutat dalam krisis hampir selalu hidup seperti itu. Dan hal itu malah terus melanggengkan krisis tersebut, karena mereka tak pernah punya waktu untuk perencanaan dan aktivitas harian yang dapat mengelakkan dia dari krisis itu.
Kuadran II merupakan kunci efektivitas pribadi dalam jangka panjang. Biasanya pekerjaan yang sangat efektif terselesaikan ketika hal-hal yang amat penting ditangani dalam situasi yang tidak diburu-buru.
Pada mulanya waktu untuk Kuadran II mesti diambilkan dari III dan IV. Akan tetapi dalam jangka panjang efektivitasnya pelan-pelan akan mengurangi dominasi Kuadran I, sambil mengembalikan porsi waktu untuk kuadran-kuadran lainnya.
Untuk mengaktifkan Kuadran II diperlukan proaktivitas, karena Kuadran III dan IV biasanya melilit Anda. Secara proaktif Anda harus mengatakan "ya" pada aktivitas Kuadran II, dan itu berarti mengatakan "tidak" pada aktivitas lain, sekalipun tampaknya aktivitas kuadran III itu sangat mendesak.
Paradigma Kuadran II adalah kunci manajemen yang efektif, baik bagi diri Anda sendiri maupun orang lain. Ini berarti bahwa setiap aksi, keputusan dan tuntutan atas waktu Anda harus disaring berdasarkan kepentingannya, bukan urgensinya.

Kebiasaan 4 : Berpikir Menang : Menang
6 Paradigma Interaksi Manusia
• Menang/Kalah.
Semboyannya "Kalau Saya menang, maka Anda harus kalah". Dalam kepemimpinan, itu tak ada gunanya – otoriter. "Kalau Anda kubiarkan terus maju, saya sendiri akan menemui jalan buntu". Segala sesuatu menjadi persaingan dan setiap kemenangan harus menyebabkan kekalahan pihak lain.

• Kalah/Menang adalah mentalitas orang kalah, yang selalu mau tunduk pada keinginan pihak lain. "Apa sajalah, asal tetap damai." Ini lebih buruk daripada paradigma Menang/Kalah karena sama sekali tidak ada standar, visi, watak atau keberanian untuk memeluk keyakinan tertentu. Yang ada hanya keinginan besar untuk selalu diterima.

• Kalah/Kalah adalah hasil jika 2 orang keras kepala, egois dan bersikap Menang/Kalah bertemu. Ini dapat berubah menjadi obsesi permusuhan yang dapat mendorong terjadinya peperangan. Orang dikuasai oleh dorongan untuk mengalahkan pihak lain, bahkan tanpa peduli akan kerugiannya sendiri. Contoh yang pas adalah kasus suami yang menceraikan istrinya dan disuruh menjual seluruh kekayaannya untuk dibagi dua dengan istrinya. Mobil seharga 20 juta dijual hanya 100 ribu; 50 ribu untuk istrinya. Demikian seterusnya dilakukan untuk semua yang dimilikinya.

• Menang. Beberapa orang berpikir "pokoknya menang". Mereka tidak berharap pihak lain kalah – itu di luar pemikirannya. Mereka melulu memikirkan keinginannya sendiri. Inilah paradigma yang paling umum dalam negosiasi bisnis. Orang yang berprinsip "pokoknya menang" senantiasa berupaya mencapai sasaran mereka dan membiarkan orang lain mencapai sasarannya mereka sendiri.

• Menang/Menang merupakan falsafah sempurna bagi hubungan antar-manusia. Yaitu, arti pencarian terus menerus akan manfaat timbal balik dalam setiap interaksi. Dengan menganut paradigma ini, orang tak akan pernah bahagia, kecuali jika ke-2 pihak sama-sama bahagia. Hidup ini dipandang sebagai kerjasama, dan bukan sebagai persaingan.

• Menang/Menang atau Tiada Transaksi. Bila pemecahan yang menguntungkan kedua pihak tidak dapat ditemukan, mereka sepakat untuk membatalkan transaksi. Mereka menyadari bahwa tujuan-tujuan mereka berbeda, tanpa saling mempersalahkan, karena tidak ada harapan yang dikecewakan. Dengan begitu, terdapat kebebasan besar di 2 pihak. Mereka tidak merasa perlu lagi menonjolkan diri atau memperalat pihak lain.
2 paradigma terakhir itu amat pantas dipilih untuk dijadikan pegangan hidup. Kendati demikian, tentu diperlukan keluwesan. Misalnya, bila situasi mengancam keselamatan putra Anda, disangsikan apakah pendekatan Menang/Menang masuk ke benak Anda. Dan, memang tidak perlu begitu.
5 Dimensi Menang
• Watak.
Watak adalah soko guru-nya Menang/Menang, dan menopang lain-lainnya. Watak itu tergantung pada integritas, kematangan pribadi (keberanian yang muncul dari keyakinan pribadi yang diimbangi dengan pertimbangan orang lain), dan "mentalitas berkelimpahan", - pemahaman bahwa terdapat kelimpahan bagi setiap orang.

• Hubungan.
Menang/Menang tergantung pada kepercayaan. Kita semua memiliki "rekening bank emosional" di dalam orang lain. Kepercayaan tersebut terbentuk perlahan-lahan oleh "tabungan" yang teratur. Dengan tabungan yang mencukupi, kesalahan-kesalahan dan "penarikan" dapat terjadi, tanpa merusak hubungan.

• Kesepakatan.
Ini berasal dari hubungan. Kesepakatan Menang/Menang antara perusahaan dan karyawan hanya terjadi bila ada hubungan baik yang terbentuk oleh kepercayaan satu sama lain. Kesepakatan menentukan Menang/Menang dan memberikan arah. Kesepakatan yang paling efektif terpusat pada hasil yang diharapkan, lebih daripada cara yang digunakan.

• Sistem.
Menang/Menang hanya dapat jalan di suatu organisasi bila sistemnya mendukung. Kendati Anda bicara Menang/Menang, tak seorang pun akan menganggap Anda dengan serius jika penghargaannya bagi Menang/Kalah. Sia-sialah meminta sales Anda bekerjasama, jika job mereka diset sebagai suatu persaingan.
• Proses.
Bedakan antara masalah dan orang. Ciptakan alternatif baru yang menguntungkan ke-2 pihak. Pusatkan perhatian pada kepentingan semua, dan bukan pada jabatan.

Kebiasaan 5 : Berusaha Memahami Dulu… Lalu Dipahami
Diagnosis Dulu Sebelum Memberi Resep
Semua orang profesional menerapkan prinsip ini. Hal itu jelas amat penting baik bagi para dokter maupun pengacara. Mereka memerlukan sebanyak mungkin fakta untuk merumuskan suatu kasus. Para insinyur bahkan perlu lebih banyak data bahan-bahan bangunan. Disain produk yang tidak mempedulikan sifat pasar dan keinginan konsumen jelas akan sia-sia.
Jelaslah, "Berusaha memahami dulu" adalah prinsip yang hampir umum berlaku di dunia, dan jauh lebih ampuh dalam hubungan antar pribadi.
Prinsip ini amat ampuh karena berada tepat di pusat Lingkup Pengaruh Anda. Anda dapat selalu memilih melakukan hal itu dan sebagai imbalannya Anda mendapat kepercayaan, dan pemahaman mendalam akan pihak lain.
Umumnya, kita cenderung memberi nasihat atau mencoba suatu ‘kaidah yang mudah dan cepat’ sebelum sungguh-sungguh memahami seseorang atau persoalan.
Untuk mengatasi hal itu, pertama-tama kita perlu usaha dan latihan mendengarkan dengan empati agar bisa memahami. Biasanya jika orang mendengarkan, pikirannya siap-siap memberi tanggapan. Akibatnya, diagnosis yang akurat tidak mungkin diperoleh.
Pemahaman dan Persepsi
Makin Anda belajar mendengarkan orang lain dengan penuh perhatian, makin Anda sadar akan begitu luasnya perbedaan berbagai persepsi orang. Paradigma yang dominan-lah yang menyaring dunia. Ada yang hanya mementingkan uang, atau anak-anak, dll. Cara mereka memahami sesuatu langsung ditentukan oleh orientasi-orientasi itu.
Itulah alasan mengapa Kebiasaan 5 teramat penting – yang merupakan landasan Menang/Menang. Pemahaman yang tajam dan mendalam menjadi lebih penting lagi jika pihak lain tidak menggunakan paradigma Menang/Menang.
…Baru Kemudian Berusaha Untuk Dipahami
Jika pemahaman menuntut pertimbangan, upaya untuk dipahami menuntut keberanian. Anda harus membuat posisi Anda diketahui dengan jelas. Watak dan keberanian adalah sokoguru yang amat penting bagi presentasi yang efektif. Dalam hal ini gagasan mengenai "pengungkapan kebenaran Anda" tercakup dalam ungkapan Yunani Kuno : ethos, pathos dan logos. Ethos (sumber etika kita) mengacu ke integritas pribadi Anda – kepercayaan yang telah Anda munculkan atau Anda bangun. Pathos berarti melakukan sesuatu dengan penghayatan rasa dan melibatkan empati; ini muncul dari upaya mendengarkan dengan saksama.
Logos adalah logika, bagian interaksi yang masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan. Biasanya orang langsung berkomunikasi berdasarkan paradigma ini. Padahal, ethos dan pathos amat penting dan tak dapat ditawar-tawar sebelum logos dapat berperan secara efektif.
Pertama-tama tampilkan watak Anda, lalu hubungan Anda, akhirnya argumentasi Anda. Bila Anda mengungkapkan gagasan, lakukan dengan jelas, tepat dan tempatkanlah dalam konteks kepentingan orang lain menurut pemahaman Anda.

Kebiasaan 6 : Bersinergi
Hakikat sinergi terkandung dalam ungkapan : "Keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya". Ungkapan ini tidak benar kalau bagian-bagiannya saling tarik ke arah berlawanan. Namun jika semua bagiannya dikerahkan ke tujuan bersama, dampak sinergi itu sangat menakjubkan.
Sinergi merupakan intisari kepemimpinan yang berpusat pada prinsip-prinsip; yaitu upaya memanfaatkan dan memadukan kekuatan terbesar yang dimiliki orang-orang. 5 kebiasaan yang pertama merupakan persiapan memasuki kerjasama yang kreatif dan menakjubkan melalui sinergi.
Sinergi memiliki potensi tak terbatas, dalam : pendidikan, hubungan pribadi dan keluarga, dan terutama dalam kegiatan bisnis. Efek sinergis setiap orang dalam perusahaan yang ikut menetapkan misinya dapat dirasakan.
Bayangkan, setiap karyawan tidak hanya hafal akan pernyataan inspiratif mengenai sasaran perusahaan, tetapi merasa menjadi salah satu perumus ! Itulah cara membuat pernyataan menjadi hidup dan menggerakkan. Kalau itu terjadi, kini Anda tinggal tutwuri handayani !
Latihan macam itu hanya dapat dilakukan di lingkungan yang telah dipersiapkan dengan cermat : suasana saling percaya dan komunikasi yang baik. Lingkungan macam itulah habitat alamiah bagi pemikiran Menang/Menang.
Sikap menghargai perbedaan-perbedaan emosional, psikologi dan juga fisik merupakan inti dari sinergi. Orang yang paling efektif adalah yang cukup rendah hati untuk mengakui keterbatasan-keterbatasan persepsinya. Mereka tahu bahwa "Anda memandang dunia bukan sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana Anda sebenarnya". Oleh karenanya, mereka memahami kekuatan perpaduan pandangan yang berbeda itu dalam satu upaya bersama.

Kebiasaan 7 : Terus Mengasah Diri
Kebiasaan 7 "melingkupi" 6 kebiasaan lainnya, dan membuatnya menjadi mungkin. Kebiasaan ini berasal dari cerita mengenai seorang tukang kayu yang ditemukan sedang bekerja menebang pohon dengan gergaji tumpul. Ketika dinasihati untuk berhenti sejenak dan mengasah gergajinya, ia menjawab bahwa ia terlalu sibuk untuk membuang sedikit waktu untuk itu.
Kebiasaan 7 adalah menyisihkan sepenggal waktu yang penting itu untuk memastikan bahwa kerja keras Anda memiliki dampak maksimal. Maksudnya agar Anda tidak hanyut dalam ke-sibuk-an Anda, hingga Anda tidak sadar bahwa "gergaji" Anda sudah tumpul.
4 Dimensi Pembaharuan
Kebiasaan 7 adalah program pemeliharaan diri Anda sendiri. Fungsinya menjaga kelangsungan dan meningkatkan modal utama Anda, juga piranti terampuh : Anda sendiri. Kebiasaan ini menyempurnakan ke-4 dimensi diri Anda, yaitu :
• Fisik. Perhatikan komposisi makanan; istirahat dan tidur cukup. Belajarlah santai secara teratur. Luangkan 30 menit untuk berolah raga; dampaknya sangat besar bagi efektivitas Anda sepanjang hari. Kegiatan ini termasuk Kuadran II yang banyak dilalaikan orang sehingga menjadi sesuatu yang mendesak (Kuadran I), berupa serangan jantung atau semacamnya. Melakukan olah raga melawan kecenderungan malas dengan sendirinya akan membangun "otot" proaktivitas Anda. Hal itu akan menyebabkan perubahan paradigma mengenai citra diri dan harga diri Anda.
• Kerohanian. Pembaruan rohani merupakan sesuatu yang penting, entah itu berupa doa, meditasi atau sekedar refleksi dalam ketenangan. Hal itu memberikan pengarahan dalam kehidupan batin Anda yang amat penting. Dimensi spiritual ini persis berada pada inti dari watak dan nilai-nilai Anda, yang seperti telah kita lihat – membentuk landasan bagi semua kebiasaan yang akan menumbuhkan efektivitas Anda.
• Mental. TV bisa menjadi pelayan yang baik ; tetapi ia adalah tuan yang brengsek. Begitu banyak orang mengganti minat intelektual dan belajar dengan seperangkat TV, pada saat meninggalkan bangku sekolah formal. Perluas cakrawala pikiran Anda dengan gagasan dan informasi baru. Asahlah dengan latihan yang menantang. Sekali lagi, jadilah proaktif – ikutlah kursus atau rencanakan kursus-kursus Anda. Banyaklah membaca dan selamilah gagasan para pemikir besar.
• Sosial/Emosional. Keahlian yang tumbuh dari kebiasaan 4, 5 dan 6 merupakan sumber pembaruan – yaitu komunikasi, kreatifitas yang ko-operatif, dan empati. Kehidupan emosional terutama dinyatakan dan terbentuk dalam hubungan-hubungan, terutama dinyatakan dan terbentuk dalam hubungan-hubungan dengan orang lain. Pertumbuhan dan pembaruan yang berhasil berasal dari kepercayaan diri seseorang dan dari kesadaran akan integritas diri mereka. Hal itu tak akan pernah tumbuh dari ketergantungan pada paradigma orang lain.


0 komentar:

Posting Komentar