Selasa, 26 Februari 2013

Pebisnis Pemula Waspadai 5 Kesalahan Ini !

Seorang wirausaha dikenal memiliki banyak sisi yang berkaitan dengan kualitas. Dari ketekunan, keterampilan, kepemimpinan, perilaku yang baik, dan banyak aset, akan membimbing mereka menjadi sukses.

Namun, beberapa pengusaha sukses pun tak luput dari kesalahan, bahkan tak jarang membuat mereka terpuruk. Wirausahawan sejati akan kembali bangkit dari keterpurukan itu dan kembali sukses.


Penulis "How They Did It: Billion Dollar Insights from the Heart of America," Robert Jordan, telah mempelajari berbagai perilaku wirausahawan. Ia mencatat, ada lima kesalahan para pebisnis pemula. Berikut lima catatan kesalahan para wirausahawan dalam mengembangkan bisnis, seperti dilansir Blackenterprise:

1. Takut untuk mengambil alih.


Beberapa orang saat pertama kali berbisnis menganggap hal tersebut sebagai bisnis sampingan. Saat titik tertentu, Anda harus memutuskan untuk terjun penuh ke dalam bisnis.

2. Mempekerjakan orang yang salah.


Mengembangkan bisnis bukan merupakan pekerjaan satu orang. Anda harus membentuk tim kerja yang solid, dengan manajemen yang solid pula. "Bahkan, seorang pendiri tunggal juga mencari mitra," katanya.

3. Tidak ingin menyerahkan kontrol.


Ada dua jenis kontrol, ekuitas dan operasional. Kadang, para pebisnis pemula terlalu semangat dalam mengembangkan bisnis, dan hal tersebut membuat mereka sulit untuk memberikan tanggung jawab ke orang lain untuk mengontrol.

"Akan ada suatu titik ketika Anda harus membiarkan orang-orang yang lebih baik dari Anda, untuk diserahi pekerjaan pada hal-hal tertentu," katanya.

4. Cepat puas diri.

Beberapa pebisnis pemula percaya bahwa mereka telah mencapai titik keberhasilan, titik aman, dan zona nyaman. Namun, orang yang memiliki jiwa wirausaha tidak akan melakukannya, dan terus berinovasi.

5. Gagal untuk melihat peluang baru.


Banyak pebisnis pemula meremehkan dan cenderung mengabaikan hal-hal yang menjadi peluang mereka, seperti memenuhi kebutuhan orang lain. Sedikit orang yang mengerti hal tersebut. Hanya orang-orang yang memiliki jiwa wirausaha yang dapat melihat peluang tersebut dengan cara lain.

Bagaimana dengan kita ?

SUMBER

4 Alasan Salah Menjadi Pebisnis

Setiap orang bermimpi sukses dengan memiliki usaha sendiri. Tidak semua berhasil mewujudkan mimpi tersebut, banyak yang gagal. Ada empat "penyakit" yang akan menjangkiti setiap wirausaha, kenali, dan hindari "penyakit" tersebut.

Dilansir dari Inc, pemilik Evernote, Phil Libin, mengatakan banyak orang bermimpi sukses dengan berwirausaha, namun banyak juga yang gagal. Kegagalan dapat dideteksi dari awal, yaitu lewat tujuan berwirausaha.


Jika salah satu alasan seseorang berwirausaha ada di bawah ini, sebaiknya dia tidak memulai untuk berbisnis. Berikut empat alasan penyebab bisnis seseorang gagal:

1. Anda ingin menjadi bos.


Jika dari awal cenderung bersikap layaknya "bos" dalam usaha dan hanya minta dilayani staf, sebaiknya urungkan niat Anda berwirausaha. Setiap wirausahawan harus memahami, pekerjaan nomor satu adalah memastikan orang-orang di bawah ikut sukses. 

Berwirausaha bukan berarti menjadi bos, melainkan menolong para staf untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Langkah yang harus dilakukan adalah menghapus hambatan mereka, sehingga dapat mengerjakan tugas dengan baik. Kerja sama antara Anda dan staf harus saling menguntungkan.

2. Anda ingin waktu luang.


Ada pemikiran yang berkembang, dengan memiliki perusahaan sendiri, seseorang bisa bebas sesukanya. Jika Anda ingin mempunyai waktu luang, sebaiknya tidak usah menjadi pengusaha. Anda hidup dan bernapas dengan bisnis. Anda tidak bisa memikirkan hal lain selain bisnis.

3. Anda ingin mendapatkan uang melimpah dalam semalam.


Tidak ada satu pun usaha yang langsung besar dalam semalam. Sebagus apa pun model bisnis Anda, akan memerlukan waktu untuk tumbuh secara masuk akal.

4. Tak bisa menerima kegagalan.


Jika ingin memulai bisnis, harus siapkan mental untuk kehilangan segalanya. Bila cukup beruntung, Anda cuma kehilangan investasi. Namun, jika gagal, Anda akan kehilangan tempat tidur. Pastikan berwirausaha secara tepat, agar tidak mengalami risiko kerugian yang besar.

Kira-kira, kesalahan mana yang mendominasi ? 

Melihat Tanpa Mata, Mendengar Tanpa Kuping

Malam ini hujan rintik-rintik di kota Medan tempat saya tinggal untuk sementara. Kebetulan, sambil makan malam, saya buka salah satu program acara TV yaitu Rumah Perubahan dengan host nya Pak Rhenald Kasali.

Topik yang dibahas menarik. Dengan bintang tamu pengusaha ekspor hasil laut dan penerbangan Susi Air, ibu Susi Pudjiastuti, pembahasan tentang cita-cita yang tak kesampaian tapi berbuah manis menjadi topik paradoks yang merayu saya untuk menonton acaranya. Maklum, saya juga pemilik cita-cita yang tak kesampaian kok :)

So, apa yang menjadi top mind advice oleh seorang ibu Susi ? Berikut ini menjadi inspirasi untuk kita semua :

Sekolah vs Berpendidikan
Sering kita mendengar bahwa untuk sukses, maka kita harus sekolah. Faktanya, kebanyakan orang yang tak mulus jalur pendidikannya, seperti ibu Susi yang notabene cuma lulus kelas 2 SMA, bisa mendulang sukses diluar perkiraan kebanyakan orang. Namun juga banyak orang yang berpendidikan juga sukses dengan bisnis dan juga karirnya. 


Apa yang menjadi benang merah paradoks tak mulus berpendidikan namun sukses luar biasa?

Era modern saat ini, ada namanya sekolah gratis, super lengkap dan bisa diakses kapan saja dan dimana saja untuk sharing pengetahuan sesuai dengan kebutuhan, yaitu Google University atau lebih dikenal dengan mbah gugel. Dengan dipadu dengan mempertajam bahasa Inggris, terus berpikir untuk meningkatkan kelas kualitas diri, menjadi senjata ampuh untuk meraih sukses walau dengan latar belakang sekolah yang tak tamat.

Teknologi sudah sedemikian friendly user dengan siapa saja, maka pergunakanlah untuk meningkatkan pengetahuan secara praktis, mudah dan gratis. It's so simple :)



Melatih Intuisi
Sebagai pemain kecil di bisnis transportasi penerbangan, maka menjadi suicide jika harus berkompetisi dengan pemain besar penerbangan sekelas Garuda. Ada ceruk pasar yang sangat dinanti konsumen di daerah-daerah yang sulit mendapat akses transportasi udara. Nah, Susi Air menjawab kebutuhan tersebut sehingga Susi Air dikenal dengan penerbangan perintisnya seantero Nusantara. Dengan 40-an unit pesawat muatan kecil, seakan menjadi oase bagi ceruk pasar di kawasan yang sulit akan kebutuhan transportasi yang cepat dan tepat di daerah terpencil.

Nah, disinilah intuisi bermain. Integrasi antara intuisi bisnis yang giat diasah dipadu dengan kemampuan analisis yang mumpuni, begitu bisnis sudah dipromosikan, menarik konsumen menjadi sangatlah mudah. 

Tools untuk mencari ceruk pasar dalam bisnis salah satunya adalah intuisi. Semakin intuisi mendominasi, maka disitu ada peluang emas. Maka advice yang menarik dari seorang Ibu Susi Pudjiastuti adalah :
" Melihat Tanpa Mata, Mendengar Tanpa Kuping"

Kira-kira, adakah pelajaran entrepreneur yang lain yang bisa kita petik dari pemilik Susi Air ?

Untuk melatih intuisi bisnis bagi pemula, silahkan baca situs ini

My Proud For Rumah Perubahan

The Zero

Pernahkah Anda diajarkan oleh guru/ dosen tentang nilai kegagalan ? Saya pikir kita semua dituntut untuk mencari sendiri nilai kegagalan dari berbagai media untuk mempelajarinya. Berikut Mas Yuswohady berbagi tentang arti kegagalan.

Kegagalan, apalagi jika kegagalan itu adalah keterpurukan hingga di titik terbawah, seringkali kita sikapi sebagai malapetaka, sebagai akhir segalanya. Keterpurukan di titik nol seringkali menjadikan kita ciut hati, undermotivated, dan berat memulai lagi dari bawah. Akibatnya, keterpurukan menjadikan kita makin terpuruk. Kita kian terjebak dalam pusaran keterpurukan.

Tapi kenapa kita tidak berpikir sebaliknya? Kenapa kita tidak menjadikan posisi terpuruk di titik nol sebagai sebuah energi luar biasa untuk bangkit. Kenapa kita tidak menjadikan keterpurukan di titik nol sebagai sinyal bahwa kita harus membangun sense of crisis, sinyal untuk mengetatkan ikat pinggang. Kenapa keterpurukan di titik nol tidak menjadikan kita ringan melenggang menggapai capapian-capaian luar biasa di depan. Kenapa keterpurukan di titik nol tidak kita jadikan momentum untuk change the world.

Saya melihat keterpurukan di titik nol adalah “harta karun” bagi kesuksesan kita karena ia menyimpan begitu banyak pelajaran, keutamaan, dan wisdom luar biasa. Karena itu, bahkan ketika kita tidak sedang terpuruk, kita harus menciptakan mindset keterpurukan di titik nol agar kita tidak ponggah, tidak sombong, tidak sok tahu, tidak malas, tidak terjebak di zona nyaman.

Bicara mengenai keterpurukan di titik nol, role model saya adalah Steve Jobs. Banyak orang mengagumi Steve karena kepiawaiannya mencipta inovasi hebat: Mac, iPod, iPhone, iPad. Saya justru mengagumi dia karena kemampuannya bangkit dari keterpurukan di titik nol.

Belajar dari Steve Jobs
Saya adalah Steve Jobs fans. Karena itu saya sangat senang ketika Jumat (11/11) lalu saya diminta hadir di teman-teman XL, berbicara mengenai, “Steve Jobs… what we can learn from him.” Di kantin kantor pusat operator seluler kedua terbesar Tanah Air ini saya gayeng berdiskusi dengan seratusan orang mengenai seluk-beluk kualitas personal seorang Steve Jobs. Dari sekian banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari dia, ada satu yang sangat mempengaruhi saya.

Saya katakan di situ bahwa Steve adalah the real hero. Seorang the real hero tak hanya mengecap kesuksesan semata. Ia juga pernah gagal, bahkan kegagalan di titik terbawah dan terpuruk. Namun di tengah keterpurukan di titik nol, the real hero bisa bangkit lagi dan menuai kejayaannya kembali.

Steve mengalami kegagalan fatal saat dia dipecat dari Apple oleh CEO nya waktu itu, John Sculley. Pemecatan ini menyakitkan karena justru Steve lah yang merekrut dan membawa masuk John Sculley untuk mengurusi pemasaran Macintosh. Seperti kita tahu, sepeninggal Steve waktu itu, nasib Apple menjadi makin runyam.

Menjadi Pemula
Apa komentar Steve mengenai pemecatan yang menyakitkan tersebut? “…getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.”

Hebatnya Steve, ia tidak menyikapi pemecatannya secara negatif dan pesimistik sebagai sebuah kekalahan dan akhir segalanya, tapi justru sebaliknya membebaskannya memasuki masa-masa terkreatif dan terproduktif  dalam perjalanan hidupnya.

Yang menarik, memulai kembali di titik nol justru menjadikan Steve punya energi luar biasa untuk berkreasi yang kita tahu akhirnya mengantarkannya untuk mencipta produk-produk paling kreatif dalam sejarah umat manusia: iPod, iPhone, iPad. Kondisi serba keterbatasan di titik nol ini justru memberikan spirit luar biasa untuk merengkuh kesuksesan.

Yang paling saya suka adalah penyataan Steve bahwa kondisi di titik nol menjadikannya ringan melangkah sebagai seorang pemula. Ya, karena ketika Anda berada di puncak kesuksesan maka setiap langkah Anda akan disorot orang lain, sehingga kita merasakan beratnya langkah kita. Sebaliknya, ketika kita terpuruk di titik nol, maka kita tidak lagi dianggap, kita tidak lagi diperhitungkan orang lain. Karena tidak diperhitungkan, maka langkah kita jadi ringan, plong melakukan dan berkreasi apapun.

Yang juga saya suka dari pernyataan Steve adalah bahwa kondisi di titik nol menciptakan ketidakpastian dan ketidakmenentuan. Ketidak pastian dan ketidakmenentuan menjadikannya berpikir 1000% lebih keras, bekerja 1000% lebih keras, berkreasi 1000% lebih keras. Ketidakpastian dan ketidakmenentuan menjadikannya keluar dari zona nyaman. Kalau meminjam kata-kata Andy Grove pendiri Intel, ketidakpastian dan ketidakmenentuan menjadikan kita paranoid. Dan kata dia, “Only the paranoid survive!!!”.

Musuh Kesuksesan
Musuh kesuksesan adalah kesuksesan itu sendiri. Itulah pelajaran yang kita petik dari keterpurukan Nokia. Kesuksesan memang menciptakan kondisi enak, nyaman, dipuja-puji, disanjung-sanjung, ditiru-tiru, dijadikan role model, dianggap paling hebat. Kondisi serba enak dan nyaman ini seringkali menjadikan kita lupa. Kondisi paling parah adalah kalau kesuksesan menjadikan kita malas berpikir keras, malas bekerja keras, malas berkreasi keras, malas belajar keras. Ketika itu terjadi maka kiamat di depan mata.

Karena itu, justru ketika kita sedang merayap ke atas mendaki kesuksesan; mindset berpikir kita harus berjalan ke arah yang sebaliknya, merayap menuju ke posisi keterpurukan di titik nol. Itu artinya, saat kita sudah menggapai di titik terpuncak kesuksesan, saat itu juga mindset berpikir kita harus sudah ada di posisi keterpurukan di titik nol.

Mindset keterpurukan di titik nol adalah harta karun kita untuk mencapai sukses berkesinambungan. Ia memberikan pelajaran, kebajikan, dan wisdom luar biasa. Ia membantu kita keluar dari penyakit kronis kemapanan.



“Life begins at the end of comfort zone.”

Minggu, 24 Februari 2013

Setiap Bits Adalah Brand Gardener

Kodak tutup. Bangkrut! Nokia bingung. Kehilangan pijakan. Starbucks jualan bir: “beyond coffee” kilahnya. Operator telco tambun limbung, digembosi Google atau Skype. Bank kebat-kebit karena tren “The death of cash”.Long tail champions seperti kanker menggerogoti irrelevant incumbents. Outliers seperti Zipcar atau Groupon marak layaknya jamur di musim hujan.


Bisnis kini menjadi kian sulit. Bisnis menjadi kian suram… bagi mereka-mereka yang picik dan bebal. Sebaliknya, Bisnis begitu moncer bagi visionaries. Bisnis begitu gilang-gemilang bagi para whitespace inventor.
Kini kita memasuki era yang luar biasa, “the era of billions of opportunities”. Landskap bisnis mengalami gempa tektonik yang memporak-porandakan, persis seperti digambarkan dalam film kiamat: 2012. Creative destruction terjadi di hampir seluruh industri. Killer apps bergentayangan terus mengintai mangsanya. Model bisnis lama hancur dibilas dengan bisnis model baru yang lebih cool. Dalam lanskap yang baru ini inovasi model bisnis bukan lagi kemewahan, tapi sudah menjadi mainstream.

Berikut ini adalah tiga creative destruction yang bakal memporak-porandakan bisnis Anda kini dan seterusnya. Creative destruction itu akan menjadi asset bagi Anda yang memilih menjadi pemenang, tapi menjadi liabilities bagi Anda yang memilih menjadi pecundang.

Customers Are Connected
Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, setelah ditemukannya social technologies konsumen menjadi terhubung satu sama lain membentuk jejaring (customer network). Jejaring konsumen ini berelaborasi menjadi cluster-cluster konsumen karena adanya satu minat atau tujuan yang sama (common interest) sehingga membentuk komunitas. Dengan medium jejaring sosial (social network) komunitas ini tumbuh demikian subur di mana antar anggota komunitas berinteraksi satu sama lain (melakukan conversation, engagement, cocreation).

Kalau sudah begini, maka Internet akan berisi jutaan bahkan miliaran komunitas konsumen yang saling terkoneksi dan berinteraksi satu sama lain secara natural tanpa satu pun instiusi yang bisa mengatur dan mengontrolnya. Mereka akan menjadi sebuah kekuatan massif yang sangat powerful dalam berhadapan dengan pemilik merek. Kasus “Dell Hell”, “Koin Untuk Prita”, hastag #25Jan atau #Suez dalam revolusi rakyat di Mesir, adalah sinyal-sinyal awal betapa konsumen menjadi demikian digdaya karena adanya social technologies.

Karena customer metamorphosis ini, saya confidentmengatakan bahwa: “the future of marketing is community marketing”. Ketika kita berbicara community marketing maka rumus-rumus marketing secara fundamental akan berubah: dari “vertical” ke “horizontal”; dari “one to many” ke “many to many”; dari “selling” ke “facilitating”; dari “broadcasting” ke “participating”; dari “exploitative” ke “cocreative”; dari “selfish” ke “giving”.


Consumption Becomes Collaborative
Jakarta macet karena setiap orang membeli mobil. Jakarta pekat asap hitam karena setiap orang memiliki mobil. Kenapa tidak memiliki hanya satu mobil yang dipakai secara beramai-ramai (sharing) di antara katakan 10 atau 15 warga Jakarta secara bergantian. Kalau ini bisa dilakukan, maka populasi mobil di Jakarta akan kecil, kepulan asap yang disemburkan knalpot akan kecil, jalanan Jakarta lebih nggak macet. Dan kalau kemacetan dan polusi bisa dipangkas, maka manfaat sosial yang dihasilkan akan luar biasa.

Itulah ide dasar di balik apa yang disebut collaborative consumption. Ketika konsumen terkoneksi satu sama lain dan social technologies telah tersedia, maka “konsumsi berjamaah” yang dijalankan dalam peer-to-peer platform ini dimungkinkan. Model bisnis inilah yang melandasi operasi perusahaan-perusahaan masa depan seperti Zipcar, Zilok, atau Freecycle.

Dengan collaborative consumption kita tak perlu memiliki produk yang kita konsumsi: “What’s mine is ours”. Itu sebabnya model bisnis ini sangat menghemat sumber daya. Dan karena hemat sumber daya, ia menjadi solusi luar biasa bagi bumi yang kian pucat dan kurus. Collaborative consumption tak hanya berlaku untuk mobil, tapi berlaku produk dan layanan apapun. Saya meramalkan bisnis-bisnis dengan platform collaborative consumption akan menjadi deadly business model yang akan meruntuhkan banyak model bisnis tradisional yang usang dan tak relevan.

Bits Is the Killer App
Transformasi terbesar yang dihadapi umat manusia di abad 21 ini adalah revolusi dari “atoms” ke “bits”. Revolusi itu seperti tornado yang menyapu bersih apapun yang dilewati. Tornado itu membumihanguskan pecundang, sekaligus menyisakan pemenang. Google dan Facebook menjadi raksasa baru dalam waktu superkilat karena kesigapannya melalui revolusi atoms ke bits. Sebaliknya, Kodak terpaksa tutup karena tak berdaya melewati revolusi atoms ke bits. Kodak tak mulus menjalani transisi dari fotografi analog ke fotografi digital.

Bits is the killer app. Banyak korban berjatuhan karenanya. Borders “dibunuh” oleh Amazon. Toko CD “dibunuh” oleh iTunes. Penerbit “dibunuh” oleh Lulu.com. Layanan interlokal “dibunuh” oleh Skype. Ensiklopedia Britanica “dibunuh” oleh Wikipedia. Koran dan majalah “dibunuh” oleh blog.

Ketika informasi dipaket dalam bentuk bits, maka informasi kemudian tersedia secara berlimpah (abundant), begitu mudah didapatkan dan dicari (findable/searchable), dan yang terpenting ia menjadi grastis (free). Ketika pengetahuan dipaket dalam bentuk bits, maka ia kemudian menjadi seperti O2 yang tersedia secara berlimpah dan gratis. “Once something becomes bits, it inevitably becomes free.” Ini memicu terciptanya model bisnis paling mematikan saat ini yaitu “free business model”.

Tiga fenomena di atas merupakan persoalan besar di depan mata yang harus dibereskan setiap marketer. Tiga pertanyaan tersebut tak gampang dicari jawabannya karena melibatkan perubahan rule of the game pemasaran yang begitu fundamental. Untuk melakukannya marketer harus menciptakan inner sense of urgency. Ia harus berani keluar dari zona nyaman dan berani membalas creative destruction yang menimpa industri dengan creative destruction dalam paradigma dan pendekatan pemasaran yang digunakan.

Persoalan pelik yang selalu mengiringi sebuah perubahan paradigma adalah begitu perkasanya legacy masa lampau dalam mengungkung pikiran kita. Legacy inilah yang membuat otak kita beku. Dengan beku otak kita akan menganggap resep-resep mujarap masa lalu sebagai yang terbaik dan terbenar; sementara paradigma dan pendekatan baru adalah teroris yang sedari dini harus ditumpas. Di tengah kebekuan, otak kita memerlukan rebooting untuk menjadi kanvas putih-bersih.

Hanya dengan terus belajar dan paranoid terhadap setiap perubahan kita akan menjadi brand gardener yang hebat. Kuncinya sederhana: “Janganlah menjadi Kodak!!!”

Againts The Giant

Indonesia sering dianggap sebagai “gadis molek” yang dilirik oleh investor dan perusahaan manapun di seluruh dunia. Jumlah penduduk yang besar, pendapatan perkapita yang telah menembus angka ambang US$3000, dan basis konsumen kelas menengah (consumer 3000) yang siknifikan, menjadikan Indonesia sebagai pasar yang atraktif bagi perusahaan-perusahaan global dari manapun di seluruh dunia.


Tak heran jika rating Indonesia oleh lembaga-lembaga pemeringkat bergengsi seperti S&P, Moody’s atau Fitch naik secara meyakinkan dalam setahun terakhir ke level investment grade. Kinerja ekonomi yang menyakinkan akan menjadikan Indonesia sebagai “save heaven country” yang akan mendorong investor asing (sektor keuangan maupun investasi asing langsung) mengalir deras ke tanah air.

Kondisi ini menjadi momentum luar biasa bagi merek-merek global untuk masuk dan semakin mengukuhkan dominasinya di pasar Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana merek-merek lokal bertahan dan membangun daya saing menghadapi gempuran merek-merek global tersebut?

Matriks ini tersusun dari dua parameter yang terwakili oleh sumbu vertikal dan horisontal. Parameter pertama (di sumbu vertikal) mencerminkan tingkat kepemilikan terhadap keunggulan lokal (local advantages). Local advantages ini bisa bermacam-macam bentuknya, seperti: pengetahuan mendalam terhadap pasar lokal; kompetensi lokal yang unik; pemahaman terhadap karakteristik budaya lokal; relasi bisnis yang unik dengan partner lokal; dan sebagainya. Di sini merek lokal dapat kita petakan menjadi dua jenis yaitu pemain dengan keunggulan lokal yang tinggi (high local advantage) dan rendah (low local advantage).
Parameter kedua (di sumbu horisontal) mencerminkan kemampuan merek lokal dalam mencapai kapasitas (di bidang manajemen, keuangan, teknologi, dll.) yang setara dengan perusahaan global (biasa disebut “global best practice”). Merek lokal yang sudah memiliki kapasitas global best practice tinggi, artinya mereka sudah memiliki modal dan teknologi yang menyamai merek global atau menjalankan praktek manajemen modern seperti menerapkan Balanced Socrecard, pengelolaan SDM berbasis kompetensi (competency-based HRM), atau mengadopsi modern brand management dalam pengelolaan produk.
Dengan mengacu matriks tersebut maka kita dapat memetakan empat jenis merek lokal berikut strategi generik yang harus mereka kembangkan dalam menghadapi merek global di pasar domestik. Coba kita lihat satu-persatu.


Die-Hard Flanker adalah merek lokal yang tidak memiliki local advantage maupun kemampuan mencapai global best practices yang kokoh. Merek lokal di posisi ini umumnya dikelola secara tradisional dan produknya tidak memiliki keunikan lokal. Karena itu mereka dihadapkan pada pilihan pelik untuk menyingkir (flank) dalam menghadapi merek global dan mencari niche market di mana ia masih bisa menguasainya. Jadi, merek lokal di posisi ini harus membangun keunggulan di pasar-pasar yang diabaikan oleh merek-merek global.
Local Challenger adalah merek lokal yang memiliki keunikan lokal tapi masih dikelola secara tradisional sehingga tidak mampu menyamai merek global dalam hal manajemen, teknologi, keuangan, dll. Pemain lokal seperti Martha Tilaar, Hotel Santika, Batik Keris, Viva, Pegadaian, Khong Guan, dll. ada di posisi ini. Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah membangun keunggulan bersaing melalui keunggulan lokal yang dimilikinya. Martha Tilaar misalnya, membangun keunggulan lokal melawan raksasa kosmetik global dengan mengembangkan produk yang berbasis kekayaan alam dan budaya (local wisdom) Indonesia.


Global Chaser adalah pemain lokal yang by-default tidak memiliki keunikan lokal, tapi memiliki kapasitas manajemen, teknologi, dan keuangan sejajar dengan merek-merek global. Pemain-pemain lokal seperti Polygon, Polytron, Telkom, Pertamina Pelumas, Biofarma, Semen Gresik, Bank Mandiri ada di posisi ini. Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah terus mengejar kapasitas global best practices dan kalau perlu membangun daya saing dengan masuk ke pasar-pasar regional/global. Global chasers seperti Biofarma, Polygon, atau Pertamina Pelumas misalnya, mulai agresif membangun daya saing dengan memasuki pasar Asia, Eropa, dan Amerika.


National Champion adalah pemain yang memiliki keunikan lokal, sekaligus memiliki kapasitas setara dengan global best practices. Pemain-pemain lokal seperti Garuda Indonesia, BRI, Sosro, BCA, Indomaret, Alfamart, Indofood, atau Garuda Food ada di posisi ini. Merek-merek lokal di posisi ini paling siap dalam menghadapi merek global secara head-to-head dengan cara membangun local differentiation. Garuda Indonesia misalnya, membangun local differentiation dengan menggunakan identitas Indonesia dalam strategi branding-nya. Garuda Indonesia juga mengembangkan “Indonesia experience” dalam inflight services-nya melalui sight, sound, scent, taste, touch yang bernuansa kekayaan budaya Indonesia.


Merek Anda masuk di posisi mana? So, kini Anda tahu apa yang harus dilakukan!

SUMBER

Berbisnis Layaknya Mbah Google

Google sepertinya patut dijadikan inspiring lesson about being a good businessman. Tulisan ini membantu menginspirasi kita semua bagaimana strategi bisnis konvensional saat ini paradoks dengan strategi yang google jalankan saat ini :)



#1. Be a Platform; Not Only Product
Google bukanlah sekedar produk; tapi ”platform”. Seperti halnya Facebook, eBay, atau Foursquare, Google menawarkan platform yang memungkinkan konsumen membangun produk, bisnis, komunitas, dan network. Jika Anda menawarkan platform, maka Anda tidak berbisnis sendirian, tapi ditopang oleh para konsumen Anda melalui hubungan bisnis win-win yang saling menguatkan. Semakin si konsumen berkembang bisnisnya, maka semakin berkembang pula bisnis pemilik platform. Google punya banyak platform: Blogger untuk penerbitan konten; Google Docs untuk office collaboration; YouTube untuk video sharing; Picasa untuk photo sharing; Google Group untuk komunitas; atau Google AdSense untuk berbisnis via online ads.

Ambil contoh Blogger yang diperoleh Google melalui akuisisi. Blogger merupakan sebuah platform karena memberikan “wadah” bagi para bloggers untuk memproduksi dan mempublikasikan konten yang mereka miliki. Dari blog yang dibangun di Blogger.com para blogger meng-create value melalui konten-konten menarik yang mereka publikasikan; yang kemudian bisa mendatangkan massa pembaca dan pengiklan. Menariknya, ketika para blogger tersebut create value, maka dengan sendirinya mereka akan add value ke platform Blogger.com. Jadi, semakin besar value diciptakan oleh si konsumen, maka semakin besar pula value yang ditambahkan oleh si konsumen tersebut kepada platformnya. Inilah hebatnya platform, Anda akan bekerja bersama-sama dengan si konsumen untuk membesarkan platform tersebut.

#2. It’s Not Destination… It’s a Mean
Banyak perusahaan berpikir bahwa konsumen harus datang ke website mereka. Kalau mereka datang, maka traffic website tersebut akan tinggi, dan dari situ pemasang iklan akan mau membayar mahal untuk iklan-iklan yang dipajang di situ. Google berpikir sebaliknya. Ia menjadikan home page-nya bukan sebagai “tujuan akhir”, tapi “alat” yang akan membawa Anda ke tempat yang Anda inginkan. Alih-alih minta didatangi, Google justru “menyambangi” konsumennya. Akibatnya, jutaan jalan bisa Anda tempuh untuk mengakses Google. “Google democratize its channels”. Search box-nya Google bisa Anda pakai dan hadir di situs manapun di internet. Anda juga bisa menggunakan Google AdSense atau YouTube di blog dan website Anda. Ketika Anda begitu gampang diakses, bisa dipastikan jutaan peluang akan menghampiri Anda. Ini pelajaran penting dari Google!!!

#3. Democratize Resources; Don’t Control!!!
Teori bisnis sebelumnya mengatakan: “Kuasailah sumber daya terbatas dan krusial (di bidang produksi, distribusi, marketing, paten, dsb.), maka Anda akan menuai keuntungan premium sesuai dengan hukum supply & demand. Google justru berpikir sebaliknya. Alih-alih menguasai dan mengontrol produksi, distribusi, pemasaran, atau paten; Google justru sejauh mungkin menyerahkan ke pihak lain untuk kemudian diajak berkolaborasi. Umumnya perusahaan menggunakan logika “scarcity economy”; Google menggunakan logika “abundance economy”. Ambil contoh Google AdSense. AdSense merupakan platform untuk “mendistribusikan” bisnis iklan Google ke para pemilik blog atau website di manapun di internet. Jadi Google tidak rakus memakan bisnis iklannya sendiri, tapi mengajak “distributor’-nya yaitu para pemiliki blog dan website untuk berkolaborasi menciptakan dan membagun bisnis secara bersama-sama. Tak heran jika pemilik blog dan website tersebut kemudian menjadi evangelist fanatik bagi Google.

#4. Never STOP Improving… Involve Customers
Hampir semua produk yang dibikin Google meluncur dengan label “Beta”. Versi Beta berarti produk tersebut masih dalam proses testing dan eksperimen; masih dalam proses perbaikan; atau masih dalam proses penyempurnaan. Cara seperti ini bertentangan denga conventional wisdom yang berlaku sebelumnya, bahwa produk harus sempurna begitu meluncur di pasar. Inilah cara Google untuk mengatakan kepada konsumennya: “Kami memang masih jauh dari sempurna; marilah kita sempurnakan bersama-sama.” Itulah cara Google untuk melibatkan konsumen menyempurnakan produk. Harus diingat, konsumen lah yang paling tahu apa kebutuhannya; karena itu konsumen lah yang paling layak menyempurnakan produk yang dibutuhkannya.

#5. “Don’t Be Evil”
“Don’t be evil” adalah motto yang diungkapkan oleh Paul Buchheit dan Amit Patel pencipta Gmail. Melalui motto yang sangat spiritual tersebut mereka ingin mengatakan bahwa ketika informasi konsumen sudah ada di Google maka data itu bisa dieksploitasi dan rekayasa sedemikian rupa untuk kepentingan apapun, termasuk untuk kepentingan yang jahat. Karena itu, motto tersebut menjadi semacam “pagar-pagar etika” bagi setiap Googlers agar tidak berperilaku dan berbisnis jahat. Poin ke-6 dari corporate philosophy mengatakan: “You can make money without doing evil”. Sehebat apapun strategi dan model bisnis Anda; semua itu tak ada artinya tanpa adanya landasan moral dan etik yang kokoh.

Berbeda dari kebanyakan perusahaan konvensional yang bersifat vertikal; Google unik dan revolusioner karena menggunakan pendekatan dan logika bisnis yang horisontal.

SUMBER