This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label Sosial Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosial Budaya. Tampilkan semua postingan
Minggu, 27 Januari 2013
Narkoba Raffi Ahmad Dan Marketing


Dunia marketing memang sangat dekat dengan pekerjaan memahami kebutuhan pasien, ups, pasar maksud saya.
Hari ini atensi saya lagi-lagi terusik dengan penggerebekan rumah artis kenamaan Raffi Ahmad atas sangkaan pesta narkoba dengan beberapa artis yang juga ikut dalam pesta tersebut dari berbagai media massa yang saya peroleh. Saya sempat berpikir, apakah masih kurang dengan materi yang sudah dengan susah payah mereka peroleh, harus ditambah lagi dengan barang yang namanya narkoba untuk memuaskan "want" yang selama ini kurang terpenuhi ?
Saya tidak berbicara soal kronologi penggerebekan, tapi fokus saya adalah jagonya sang marketer narkoba menggaet pasar papan atas. Bagaimana sih kok bisa ?
Kembali lagi kita membahas rahasia marketer sukses :
1. Kemampuan yang tidak boleh tidak dimiliki para marketer adalah memahami peluang / kebutuhan / keinginan pasar. Jeli melihat peluang adalah syarat mutlak marketer. Para marketer narkoba (yang kemudian saya singkat MN) adalah ahli dibidangnya. Pasar artis adalah pasar yang dinamis dengan gaya hidup dunia gemerlap, beban kerja ekstrim sebagai seorang artis, sehingga dengan kondisi seperti itu, psikis pasar ini sangat gampang untuk goyah dan biasanya membutuhkan suatu pelarian. Pelarian itulah oleh para MN merekayasa pasar ini untuk menaikkan omset produk narkoba.
2. Teknik promosi yang below the line ala MN cukup memiliki proses. Di mulai dari pendekatan awal lewat mengikuti gaya hidup pasar ini, kemudian mempenetrasi pasar lewat promosi lewat mouth of marketing dibumbui dengan teknik komunikasi persuasif. Logikanya, karena produk yang dipasarkan adalah barang sangat terlarang, maka tentu tidak mungkin menggunakan promosi terang-terangan misal lewat brosur, billboard dan bahan promo eksplisit lainnya (wong edan kalau ada MN yang buat promosi terang-terangan)
3. Membangun jaringan distribusi yang kuat dan tanpa diketahui oleh siapapun untuk memasok narkoba adalah kunci sukses bisnis ini. Konsumen narkoba adalah over demand mind. Artinya dengan kondisi apapun, konsumen akan "sangat memaksakan diri" untuk memenuhi kebutuhannya dengan barang haram itu, maka perlu jaringan distribusi yang sangat kuat dan diam-diam (stealth)
Ke-3 hal sederhana di atas adalah keseharian para marketer produk apapun itu. Biar bagaimanapun, selama ada pasar, ada manusia yang lain memanfaatkan peluang pasar, selama itu pula lah bisnis berjalan dan para marketer yang menjadikan produk yang dihasilkan sampai ke tahap penikmatan produkoleh konsumen.
Nah, dengan kasus ini, kebetulan juga saya sangat menjauhi barang haram narkoba, maka strategi untuk mematikan bisnis ini adalah menyerang pasar atau mematikan produsen narkoba itu sendiri. Propaganda anti narkoba tidaklah cukup seperti yang sering kita lihat melalui plang jalan anti narkoba dan mass media.
Jikalau bisa, justru dengan peluang pasar seperti ini, mungkin berbagai bisnis yang sifatnya jasa untuk menampung "pelarian" para artis ini seperti bisnis outbound, jasa terapi pijat, atau jasa dekat dengan Tuhan melalui ustad, pendeta dan para pemuka agama juga bakal laku melihat behaviour pasar artis seperti ini adalah mereka yang tak taat lagi dengan Tuhannya kali ya ?
Makanya, bisnis tandingan narkoba yang berperan sebagai "good" juga harus gencar melakukan kegiatan marketing layaknya para MN dong :-)
Note:
Tulisan ini hanyalah opini marketing semata. Penulis mendukung 100% gerakan anti narkoba selamatkan bangsa Indonesia dari kehancuran.
Jumat, 16 November 2012
Empati, Mi Instan & Harapan


"Hidup tak selezat mi instan..." - Anonym
Siapa yang tak suka dengan hal yang instan ? Contohnya, kaya mendadak karena lotre, dapat warisan entah darimana datangnya, atau menjadi artis idola lewat jalur kompetisi dan hal-hal instan lainnya yang tak bisa disebutkan semuanya.
Semua hal instan tersebutselain dapat menghemat waktu, tenaga, materi dan lain-lain, memang sudah menjadi bagian dari sifat manusia untuk menyukai proses instan.
Nah, siapa yang suka mi instan ? Saya juga suka kok. Selain mudah penyajiannya, aroma yang menggoda dan rasanya yang lezat memang sengaja dirancang agar membuat kita puas dengan mi instan. Tahukah Anda informasi kesehatan tentang min instan yang biasa beredar di pasaran ?
Saya pastikan Anda juga bisa mencari artikel tentang bahaya dari memakan mi instan secara intens. Dampaknya bisa memicu kanker, usus di potong, dan lain sebagainya.
Tapi di beberapa lapisan masyarakat khususnya ekonomi lemah, mi instan justru menjadi pelipur lara perut yang kosong. Bayangkan, dengan uang seribu Rupiah saja sudah bisa menikmati seporsi mi instan setara dengan sepiring nasi untuk mengganjal perut. Layaknya, mi instan hanyalah sebagai makanan darurat saja sebagai pengganti makanan utama.
Empati
Tidak bisa dipungkiri, sebenarnya mi instan lebih di asosiasikan dengan makanan si jelata. Jelata bagi keluarga kurang mampu, mahasiswa berkantong tipis, dan seperti saya yang harus berhemat untuk biaya hidup setelah akad nikah, hehehehehehe...
Mari kita berhitung dulu ya. Jika dalam sehari kita makan 3 kali sehari dengan hitungan per sekali makan habis uang Rp 10.000/ porsi/sekali makan dengan minum hanya air putih masak, maka dalam sebulan habis biaya makan hingga rata-rata Rp 900.000/bulan.
Jika dengan makan mi instan hanya habis biaya Rp2.500/ porsi/ sekali makan dengan asumsi sehari 3 kali makan dan minum air putih masak, maka dalam sebulan hanya habis Rp 225.000/ bulan. Bandingkan perbedaan angka 900.000 dengan 225.000. Perbedaan angka yang fantastis jika dilihat dari sisi rakyat jelata.
Harapan
Bukan tanpa alasan memindahkan kebiasaan sehat menjadi makan-makanan instan yang murah. Saya setuju dengan Anda dengan jawaban alasan PENGHEMATAN. Alasan klasik seperti gaji tanggal 1 sudah koma alias gaji sudah tak cukup untuk menutupi kebutuhan pokok padahal baru tanggal muda, alasan menabung untuk investasi masa depan, atau alasan-alasan yang lain.
Bukan berarti para mahasiswa harus dipaksa untuk tidak makan mi instan kalau toh juga biaya pendidikan makin mahal. Tapi itulah korelasinya jika biaya pendidikan makin tinggi, sudah seharusnya makin mengencangkan ikat pinggang dan memberi isi perut dengan mi instan.
Bukan berarti dengan paksaan ekonomi makin banyak warga pinggiran makin memfavoritkan makan mi instan dan traditional dry rice ( nasi aking) sebagai dampak makin sulitnya mendapatkan penghidupan yang layak di negeri sendiri.
Empati & Harapan
Apakah arti empati bagi kita semua jika ada tetangga di sebelah masih harus menahan lapar? Apakah kita masih sanggup menggantungkan harapan dari berseliwerannya mobil box mi instan yang sedang mendistribusikan mi instannya ? Atau, masihkah kita harus miskin dengan makanan pokok mi instan ?
Ditengah saudara-saudara kita yang masih mengkonsumsi pangan mi instan, masih ada harapan untuk perjuangan penghidupan layak , seperti pendidikan yang terjangkau, menjadi pasangan yang harmonis yang tak cekcok dengan masalah dapur keuangan, dan kesehatan yang layak walaupun menapaki proses yang tak instan pula akan cita-cita masing-masing individu dan kolektif.
"Tulisan ini sebagai renungan sebelum liburan"
Siapa yang tak suka dengan hal yang instan ? Contohnya, kaya mendadak karena lotre, dapat warisan entah darimana datangnya, atau menjadi artis idola lewat jalur kompetisi dan hal-hal instan lainnya yang tak bisa disebutkan semuanya.
Semua hal instan tersebutselain dapat menghemat waktu, tenaga, materi dan lain-lain, memang sudah menjadi bagian dari sifat manusia untuk menyukai proses instan.
Nah, siapa yang suka mi instan ? Saya juga suka kok. Selain mudah penyajiannya, aroma yang menggoda dan rasanya yang lezat memang sengaja dirancang agar membuat kita puas dengan mi instan. Tahukah Anda informasi kesehatan tentang min instan yang biasa beredar di pasaran ?
Saya pastikan Anda juga bisa mencari artikel tentang bahaya dari memakan mi instan secara intens. Dampaknya bisa memicu kanker, usus di potong, dan lain sebagainya.
Tapi di beberapa lapisan masyarakat khususnya ekonomi lemah, mi instan justru menjadi pelipur lara perut yang kosong. Bayangkan, dengan uang seribu Rupiah saja sudah bisa menikmati seporsi mi instan setara dengan sepiring nasi untuk mengganjal perut. Layaknya, mi instan hanyalah sebagai makanan darurat saja sebagai pengganti makanan utama.
Empati
Tidak bisa dipungkiri, sebenarnya mi instan lebih di asosiasikan dengan makanan si jelata. Jelata bagi keluarga kurang mampu, mahasiswa berkantong tipis, dan seperti saya yang harus berhemat untuk biaya hidup setelah akad nikah, hehehehehehe...
Mari kita berhitung dulu ya. Jika dalam sehari kita makan 3 kali sehari dengan hitungan per sekali makan habis uang Rp 10.000/ porsi/sekali makan dengan minum hanya air putih masak, maka dalam sebulan habis biaya makan hingga rata-rata Rp 900.000/bulan.
Jika dengan makan mi instan hanya habis biaya Rp2.500/ porsi/ sekali makan dengan asumsi sehari 3 kali makan dan minum air putih masak, maka dalam sebulan hanya habis Rp 225.000/ bulan. Bandingkan perbedaan angka 900.000 dengan 225.000. Perbedaan angka yang fantastis jika dilihat dari sisi rakyat jelata.
Harapan
Bukan tanpa alasan memindahkan kebiasaan sehat menjadi makan-makanan instan yang murah. Saya setuju dengan Anda dengan jawaban alasan PENGHEMATAN. Alasan klasik seperti gaji tanggal 1 sudah koma alias gaji sudah tak cukup untuk menutupi kebutuhan pokok padahal baru tanggal muda, alasan menabung untuk investasi masa depan, atau alasan-alasan yang lain.
Bukan berarti para mahasiswa harus dipaksa untuk tidak makan mi instan kalau toh juga biaya pendidikan makin mahal. Tapi itulah korelasinya jika biaya pendidikan makin tinggi, sudah seharusnya makin mengencangkan ikat pinggang dan memberi isi perut dengan mi instan.
Bukan berarti dengan paksaan ekonomi makin banyak warga pinggiran makin memfavoritkan makan mi instan dan traditional dry rice ( nasi aking) sebagai dampak makin sulitnya mendapatkan penghidupan yang layak di negeri sendiri.
Empati & Harapan
Apakah arti empati bagi kita semua jika ada tetangga di sebelah masih harus menahan lapar? Apakah kita masih sanggup menggantungkan harapan dari berseliwerannya mobil box mi instan yang sedang mendistribusikan mi instannya ? Atau, masihkah kita harus miskin dengan makanan pokok mi instan ?
Ditengah saudara-saudara kita yang masih mengkonsumsi pangan mi instan, masih ada harapan untuk perjuangan penghidupan layak , seperti pendidikan yang terjangkau, menjadi pasangan yang harmonis yang tak cekcok dengan masalah dapur keuangan, dan kesehatan yang layak walaupun menapaki proses yang tak instan pula akan cita-cita masing-masing individu dan kolektif.
"Tulisan ini sebagai renungan sebelum liburan"
Senin, 05 November 2012
Secercah Kemandirian


Hari ini saya masih diberi kesempatan untuk menulis blog kesayangan yang satu ini. Alhamdulillah ya,hehehehe...
Sudah 26 tahun saya masih numpang di planet bernama bumi hanya untuk sekedar mencari pembenaran salah satu hal penting dalam hidup kita yaitu makna kemandirian.
Kita ambil contoh sederhana, seseorang yang rela untuk meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke daerah lain untuk penghidupan yang layak bisa dipastikan akan lebih terpacu semangat bertahan hidup misal bekerja dengan sungguh-sungguh karena pekerjaan tersebut yang menjadi sumber penghidupan satu-satunya.
Apakah kita harus menjadi perantauan agar terbentuk mental mandiri ?
Tidak juga. Contoh lain seperti berusaha menjadi pedagang/ pengusaha di bumi tempat kaki berpijak juga termasuk langkah menuju kemandirian kok. Mandiri dalam hal finansial lho.
Terus, gimana dong supaya menjadi mandiri ? "Malu dong kalau mandi aja masih di mandiin ama emak.." celoteh anak-anak zaman sekarang. Makanya, baca terus artikel saya ini ya.
Menjadi Mandiri
Sedikit berbagi pengalaman saya berbincang dengan tukang becak bermotor langganan. Kita sebut saja pak Marbun namanya. Beliau semasa masih remaja sudah berprofesi menjadi tukang becak dayung. 30 tahun kemudian becaknya sudah memiliki mesin sehingga berprofesilah menjadi tukang becak motor yang setia mengantarkan para penumpangnya menuju alamat yang ditujukan. Ya, sekarang beliau di usia senja masih setia dengan profesinya sebagai veteran tukang becak ditemani seorang istri yang selalu setia dengan pak Marbun. Sampai sekarang tetap setia untuk menyisihkan sebagian pendapatan untuk pembangunan gereja ditempat pak Marbun biasa beribadah walaupun dalam nominal sangat kecil.
Cerita lainnya adalah kawan saya yang sudah bekerja sebagai pegawai swasta dengan posisi yang layak dan mendapatkan gaji yang pas untuk menghidupi dirinya sendiri, tapi masih terus saja mengeluh dengan setumpuk masalah kerjaan kantoran yang selalu mengganggu psikisnya dan terus menerus merasa tidak puas dengan gaji yang diterimanya tiap bulan. Alhasil, gajinya pun habis untuk sekedar entertainment/ liburan.
Ada juga seorang teman saya juga yang ditinggal meninggal kedua orang tuanya, kemudian terpuruk dalam kemiskinan. Berkat kemampuannya untuk bangkit dari keterpurukan mental, akhirnya sekarang sukses menjalani bisnis ponsel di kotanya, walaupun semasa masih merintis usaha ponselnya, saudara-saudaranya menganggap sebelah mata karena teman saya ini dianggap tidak kompeten berbisnis. Nyatanya, beliau sekarang termasuk dalam jajaran pengusaha yang patut diacungi jempol oleh berbagai kompetisi wirausaha seperti wirausaha muda mandiri. Setiap hari terus dibiasakannya untuk bersedeqah kepada yang berhak sebagai wujud empati susahnya hidup seperti yang pernah ia rasakan juga.
Nah, apa arti kemandirian dari ketiga cerita tadi ? Menurut saya adalah :
1. Totalitas
Totalitas / kesungguhan kita menjadikan diri sebagai pribadi yang sangat pantas akan profesi yang kita jalani saat ini adalah salah satu kunci utama kemandirian. Totalitas muncul jika kita mencintai pekerjaan/ kehidupan kita. Kesungguhan kita dengan pekerjaan saat ini, menunjukkan kita mandiri secara persepsi bahwa kita bekerja seolah-olah pekerjaan tersebut adalah perjuangan hidup dan mati. Andaikan besok Anda akan mati, tentunya hari ini Anda akan sangat bersungguh sungguh berbuat baik dengan sesama dan begitu khusyuk beribadah, bukan ? Dengan totalitas, kita dianggap loyal dan berdedikasi lho.
2. Persepsi yang benar
Pada cerita pegawai swasta di atas, menunjukkan bahwa dia mandiri secara finansial, tapi masih bermanja-manja dengan entertainment (hura-hura) sebagai pelampiasan ketidak puasan dengan kondisinya saat itu. Kita tidak harus menjadi mandiri semudah membalikkan telapak tangan. Perlu proses pembelajaran agar memiliki pandangan hidup (persepsi) yang benar seperti semula mandiri secara finansial, kemudian mandiri secara kejiwaan, naik tingkat lagi menjadi mandiri dalam hal berpikir objektif sehingga tercapai kemandirian secara utuh. Terus membenahi cara berpikir juga termasuk proses menuju kemandirian berpikir.
3. Berpikir cerdas
Pikiran adalah pelita harapan. Semboyan ini benar adanya. Bayangkan apabila suatu pekerjaan dikerjaan ala orang bodoh. Tentu hasilnya buruk bukan ? Meningkatkan kualitas diri melalui membaca, mengikuti forum diskusi hingga menjadikan diri pribadi yang layak disebut mandiri secara intelejensia.
4. Syukur
Nilai tertinggi bahkan (menurut saya) tidak semua orang bisa melakukannya adalah syukur. Lihatlah kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah tapi rakyatnya masih miskin. Ini adalah tanda kita masih belum mandiri karena kurang bersyukur kepada Tuhan yang Maha Memiliki. Arti syukur adalah kita mampu dekat dengan Tuhan seperti taat dengan aturan yang digariskan Tuhan sehingga apapun kehidupan yang dijalani tentunya menunjukkan kemandirian secara spiritual. Syukur juga dapat membentengi diri dari sikap gampang menyerah, karena dengan bersyukur kita menjadi optimis besok akan lebih baik daripada hari ini. Sudahkah kita bersyukur untuk hari ini karena masih diberi kesempatan membaca artikel blog saya ini ? hehehehehe
Kesimpulan
Menjadi pribadi yang mandiri adalah dambaan bagi orang-orang pemberani, dinamis dan siap menerima kesuksesan. Tak lagi berpangku tangan, mampu bekerja sendiri adalah definisi kuno tentang arti kemandirian. Mandiri adalah serangkaian sistem pendukungnya yang bekerja secara harmoni seperti totalitas, berpikir cerdas, memiliki persepsi hidup yang tepat dan rasa syukur.
Ini adalah definisi mandiri menurut saya. Bagaimana dengan Anda ?
"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari http://www.bankmandiri.co.id dalam rangka memperingati HUT Bank Mandiri ke-14. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan.“
Kita ambil contoh sederhana, seseorang yang rela untuk meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke daerah lain untuk penghidupan yang layak bisa dipastikan akan lebih terpacu semangat bertahan hidup misal bekerja dengan sungguh-sungguh karena pekerjaan tersebut yang menjadi sumber penghidupan satu-satunya.
Apakah kita harus menjadi perantauan agar terbentuk mental mandiri ?
Tidak juga. Contoh lain seperti berusaha menjadi pedagang/ pengusaha di bumi tempat kaki berpijak juga termasuk langkah menuju kemandirian kok. Mandiri dalam hal finansial lho.
Terus, gimana dong supaya menjadi mandiri ? "Malu dong kalau mandi aja masih di mandiin ama emak.." celoteh anak-anak zaman sekarang. Makanya, baca terus artikel saya ini ya.
Menjadi Mandiri
Sedikit berbagi pengalaman saya berbincang dengan tukang becak bermotor langganan. Kita sebut saja pak Marbun namanya. Beliau semasa masih remaja sudah berprofesi menjadi tukang becak dayung. 30 tahun kemudian becaknya sudah memiliki mesin sehingga berprofesilah menjadi tukang becak motor yang setia mengantarkan para penumpangnya menuju alamat yang ditujukan. Ya, sekarang beliau di usia senja masih setia dengan profesinya sebagai veteran tukang becak ditemani seorang istri yang selalu setia dengan pak Marbun. Sampai sekarang tetap setia untuk menyisihkan sebagian pendapatan untuk pembangunan gereja ditempat pak Marbun biasa beribadah walaupun dalam nominal sangat kecil.
Cerita lainnya adalah kawan saya yang sudah bekerja sebagai pegawai swasta dengan posisi yang layak dan mendapatkan gaji yang pas untuk menghidupi dirinya sendiri, tapi masih terus saja mengeluh dengan setumpuk masalah kerjaan kantoran yang selalu mengganggu psikisnya dan terus menerus merasa tidak puas dengan gaji yang diterimanya tiap bulan. Alhasil, gajinya pun habis untuk sekedar entertainment/ liburan.
Ada juga seorang teman saya juga yang ditinggal meninggal kedua orang tuanya, kemudian terpuruk dalam kemiskinan. Berkat kemampuannya untuk bangkit dari keterpurukan mental, akhirnya sekarang sukses menjalani bisnis ponsel di kotanya, walaupun semasa masih merintis usaha ponselnya, saudara-saudaranya menganggap sebelah mata karena teman saya ini dianggap tidak kompeten berbisnis. Nyatanya, beliau sekarang termasuk dalam jajaran pengusaha yang patut diacungi jempol oleh berbagai kompetisi wirausaha seperti wirausaha muda mandiri. Setiap hari terus dibiasakannya untuk bersedeqah kepada yang berhak sebagai wujud empati susahnya hidup seperti yang pernah ia rasakan juga.
Nah, apa arti kemandirian dari ketiga cerita tadi ? Menurut saya adalah :
1. Totalitas
Totalitas / kesungguhan kita menjadikan diri sebagai pribadi yang sangat pantas akan profesi yang kita jalani saat ini adalah salah satu kunci utama kemandirian. Totalitas muncul jika kita mencintai pekerjaan/ kehidupan kita. Kesungguhan kita dengan pekerjaan saat ini, menunjukkan kita mandiri secara persepsi bahwa kita bekerja seolah-olah pekerjaan tersebut adalah perjuangan hidup dan mati. Andaikan besok Anda akan mati, tentunya hari ini Anda akan sangat bersungguh sungguh berbuat baik dengan sesama dan begitu khusyuk beribadah, bukan ? Dengan totalitas, kita dianggap loyal dan berdedikasi lho.
2. Persepsi yang benar
Pada cerita pegawai swasta di atas, menunjukkan bahwa dia mandiri secara finansial, tapi masih bermanja-manja dengan entertainment (hura-hura) sebagai pelampiasan ketidak puasan dengan kondisinya saat itu. Kita tidak harus menjadi mandiri semudah membalikkan telapak tangan. Perlu proses pembelajaran agar memiliki pandangan hidup (persepsi) yang benar seperti semula mandiri secara finansial, kemudian mandiri secara kejiwaan, naik tingkat lagi menjadi mandiri dalam hal berpikir objektif sehingga tercapai kemandirian secara utuh. Terus membenahi cara berpikir juga termasuk proses menuju kemandirian berpikir.
3. Berpikir cerdas
Pikiran adalah pelita harapan. Semboyan ini benar adanya. Bayangkan apabila suatu pekerjaan dikerjaan ala orang bodoh. Tentu hasilnya buruk bukan ? Meningkatkan kualitas diri melalui membaca, mengikuti forum diskusi hingga menjadikan diri pribadi yang layak disebut mandiri secara intelejensia.
4. Syukur
Nilai tertinggi bahkan (menurut saya) tidak semua orang bisa melakukannya adalah syukur. Lihatlah kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah tapi rakyatnya masih miskin. Ini adalah tanda kita masih belum mandiri karena kurang bersyukur kepada Tuhan yang Maha Memiliki. Arti syukur adalah kita mampu dekat dengan Tuhan seperti taat dengan aturan yang digariskan Tuhan sehingga apapun kehidupan yang dijalani tentunya menunjukkan kemandirian secara spiritual. Syukur juga dapat membentengi diri dari sikap gampang menyerah, karena dengan bersyukur kita menjadi optimis besok akan lebih baik daripada hari ini. Sudahkah kita bersyukur untuk hari ini karena masih diberi kesempatan membaca artikel blog saya ini ? hehehehehe
Kesimpulan
Menjadi pribadi yang mandiri adalah dambaan bagi orang-orang pemberani, dinamis dan siap menerima kesuksesan. Tak lagi berpangku tangan, mampu bekerja sendiri adalah definisi kuno tentang arti kemandirian. Mandiri adalah serangkaian sistem pendukungnya yang bekerja secara harmoni seperti totalitas, berpikir cerdas, memiliki persepsi hidup yang tepat dan rasa syukur.
Ini adalah definisi mandiri menurut saya. Bagaimana dengan Anda ?
"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari http://www.bankmandiri.co.id dalam rangka memperingati HUT Bank Mandiri ke-14. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan.“
Senin, 24 September 2012
Social Media Engineering Ala Jokowi-Ahok


Pertarungan dua kubu, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, dalam memperebutkan suara warga dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tidak hanya terjadi di dunia nyata. Di dunia online, pertarungan juga terjadi dan tidak kalah seru.
Pertarungan keduanya seolah menjadi pertarungan dua brand yang berbeda. Sebelum memasuki pentas pemilihan kepala daerah DKI Jakarta,Fauzi Bowo (Foke) dan Joko Widodo (Jokowi) merupakan dua brand yang memiliki penetrasi di medan yang berbeda-beda. Jokowi, dengan latar belakang daerah, otomatis tak begitu dikenal luas seperti halnya Foke yang sudah akrab di telinga warga ibu kota Jakarta.
Namun, dalam rentang dua bulan terakhir, brand Jokowi justru berada di atas brand Foke. Seperti halnya, hasil hitung cepat perolehan suara Pilkada Jakarta putaran II, pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengungguli pasangan Foke-Nachrowi Ramli (Nara).
Fenomena ini dengan mudah bisa dicatat oleh berbagai situs pemeringkat kompetisi brand melalui pelacakan rekam jejak percakapan terkait dengan dua nama yang berkompetisi itu di jagat internet.
Menurut laman web analytics.topsy.com, salah satu situs yang menyediakan pelacakan percakapan brand, terutama di jejaring sosial Twitter, sejak 24 Agustus 2012, kata kunci Jokowi terus memimpin melawan Foke hingga 21 September, sehari setelah pemungutan suara. Jokowi rata-rata dibicarakan 15.000-30.000 kali tiap hari.
Dari grafis yang dihasilkan Topsy, banyaknya mention atau penyebutan terhadap brand Jokowi ataupun Foke berbanding lurus dengan berita yang ada di media massa.
Nama Jokowi di dunia maya terutama melonjak dibicarakan orang pada 16 September, dipicu berita di sebuah media massa berjudul ”Foke Pertanyakan Motivasi Jokowi Jadi Cagub”.
Berita itu tampaknya lebih condong mengekspos nilai negatif dari Jokowi, tetapi kenyataannya justru memberi umpan balik atau sentimen positif terhadap Jokowi dengan menghasilkan sebanyak 88.441 percakapan di Twitter. Pada hari sama, percakapan terhadap brand Foke menghasilkan 58.511 kali, dengan berita ”Inilah ’Positifnya’ Jokowi di Mata Foke”.
”Fokoke Jokowi”
Jelang hari-H pencoblosan, ada satu tulisan unik bernada humor yang mengatrol pembicaraan positif mengenai Jokowi. Tulisan itu remeh-temeh dan tidak didesain untuk kepentingan kampanye serius, hanya berupa kelakar. Judulnya, ”Baru dapat kabar, Jokowi akhirnya berkoalisi dgn Foke. Namanya Fokoke Jokowi”.
Humor itu ternyata menjadi titik tertinggi untuk meroketkan brand Jokowi dengan total pembicaraan di media sosial naik tajam dari 51.727 menjadi 315.920 kali. Pada hari yang sama, brand Foke juga menanjak, dari 30.458 menjadi 128.561 kali dengan dipicu berita ”7 Janji Foke”.
”Fokoke Jokowi” adalah contoh pengolahan slogan yang kreatif, yang pada malam sebelum pencobloson seolah bergerak menjadi ribuan pasukan yang menghampiri para calon pencoblos via Twitter, Facebook, blog, pesan singkat SMS, juga pesan Blackberry Messenger (BBM). Slogan itu telah menjadi viral marketing, pemasaran gratis yang menyebar bak virus online.
Ikon lain yang berhasil menjadi duta media sosial melawan Foke adalah gambar dengan teks nyentil, ”Jakarta will be OK without F”. Slogan ringan dan menggelitik ini hampir tak terjadi pada kubu Foke.
Isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang bergulir dominan, untuk kelas menengah di perkotaan, ternyata tidak didistribusikan sebagai virus online.
Dengan menggunakan tools atau peralatan analisis lain, bisa dilacak percakapan Foke sebenarnya bukan kalah populer. Hanya saja, sentimen positif lebih lari ke percakapan Jokowi. Hal ini bisa dilihat di socialmention.com, salah satu laman web yang menganalisis kata kunci di berbagai situs jejaring sosial.
Di Social Mention, brand Jokowi memiliki kekuatan 26 persen, sedangkan Foke 21 persen. Kekuatan ini adalah angka unik dari socialmention.com yang diukur berdasarkan jumlah diskusi terhadap brand di media sosial.
Perbandingan sentimen positif terhadap sentimen negatif pada kubu Jokowi adalah 8:1, sedangkan untuk Foke 2:1. Tampak bahwa kubu Jokowi diuntungkan dengan sentimen positif ini.
Unik juga untuk dicatat, brand Jokowi secara konsisten frekuensinya lebih sering dibicarakan dibandingkan dengan Foke, yaitu rata-rata tiap 28 detik sekali untuk Jokowi dan 1 menit sekali untuk Foke.
Howsociable.com menguatkan pernyataan itu dengan memberi skor magnitudo untuk percakapan Jokowi sebesar 6,4, sedangkan Foke 6,1.
Jokowi unggul di semua situs jejaring sosial, misalnya di Twitter, Facebook, Youtube, Google plus, Tumblr, dan Yfrog.
Partisipasi kelas menengah
Analis pemasaran internet yang juga CEO Virtual Consulting, Nukman Luthfie, memaparkan, kampanye di media sosial dalam Pilkada DKI Jakarta merupakan contoh paling bagus untuk melihat bagaimana media sosial bekerja.
”Jakarta adalah pusat penggunaan media sosial di Indonesia, pengguna Twitter di Jakarta paling banyak, akibatnya pembicaraan Pilkada DKI di Twitter ramai,” katanya.
Kampanye di media sosial telah menjadi perang terbuka bagi para pendukung. Bahkan, perang itu juga melibatkan orang luar daerah mengingat Jokowi dan Ahok berasal dari luar daerah. Uniknya, justru latar belakang calon yang luas itu memicu penyebaran pembicaraan hingga luar Jakarta, mereka ikut membangun pencitraan untuk kubu Jokowi-Ahok.
”Orang-orang yang tadinya tidak antusias menjadi antusias membahas Pilkada Jakarta. Perbincangan di kelas menengah, terutama di Twitter, menjadi kencang,” kata Nukman.
Mereka lebih memilih perang lewat Twitter, bukan lewat Facebook. Perang ”140 karakter” lewat Twitter kini lebih disukai masyarakat perkotaan dibandingkan dengan di Facebook.
Perilaku ini khas berasal dari generasi melek Twitter. Dengan demikian, mereka ini adalah generasi baru yang memasuki ranah politik. ”Inilah awal dari partisipasi masyarakat kelas menengah di bidang politik,” kata Nukman.
Lalu, mengapa Jokowi dalam percaturan media sosial unggul dibandingkan dengan Foke?
”Jokowi muncul karena perlawanan, orang sudah capai dengan wajah lama. Foke sudah 35 tahun di pemerintahan Jakarta,” kata Nukman. Terlebih lagi, Jokowi ternyata lebih dekat dan lebih ramah dengan blogger dan pengguna Twitter.
Bukan berarti kubu Foke tak mengerahkan kekuatan media sosial. Kata Nukman, kubu Foke justru merekrut orang-orang profesional yang hidupnya memang berasal dari jualan kampanye di media sosial. Sebaliknya, kubu Jokowi lebih mengandalkan sukarelawan, bahkan banyak di antaranya tak dibayar.
Hal menarik lain dalam perang media sosial, pada putaran kedua media sosial lebih banyak digunakan sebagai black campaign.
”Jika pada putaran pertama lebih ke perang program, pada putaran kedua ini digunakan untuk kampanye hitam, saling menjatuhkan satu sama lainnya,” kata Nukman.
Beberapa kampanye hitam itu ditengarai berhasil mendongkrak perolehan suara Foke, terutama dari masyarakat kalangan bawah. Hanya saja, Jokowi akhirnya memenangi pertandingan ini karena faktor orang-orang Jakarta yang ingin melihat perubahan.
Pantas diapresiasi
Satu hal yang pantas diapresiasi dari perang 140 karakter ini, kata Nukman, adalah meskipun pertengkaran dan perselisihan pendapat tinggi di tingkat media sosial, di dunia nyata tak pecah pertikaian.
”Calon petahana juga fair dalam menanggapi hasil perhitungan cepat. Dari kubu yang menang sementara versi hitung cepat juga tidak arogan menghina. Tim sukses juga tidak saling berantem, inilah contoh penggunaan media sosial yang baik untuk daerah lain,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto memiliki penilaian senada. Menurut dia, kedua kubu sama-sama menggunakan media sosial dengan intens. Kedua pihak menyadari media sosial sangat membantu dalam hal pembentukan citra para kandidat, menyampaikan pesan kampanye, serta visi-misi-program para kandidat.
”Sejak awal kita melihat para simpatisan Jokowi, yang merupakan paduan dari tim yang dibentuk tim sukses serta para sukarelawan, ikut berkontribusi pada pembentukan citra positif Jokowi-Ahok,” kata Haryanto.
Pertarungan/kampanye tidak hanya melalui baliho dan koran, tetapi juga sampai ke videoklip yang dibuat oleh dua kubu. Kalau mau membandingkan dari sisi video klip, menurut Haryanto, kubu Jokowi-Ahok menawarkan kesegaran dalam penyajian, menyasar anak muda, dan juga massa mengambang.
”Sementara kalau melihat video klip resmi yang dipergunakan Foke-Nara, kelihatan menyasar kelompok menengah bawah dan menonjolkan iming-iming atau janji yang selama ini diklaim sebagai prestasi Foke,” kata Haryanto.
Soal isu SARA, dia juga meyakini bahwa isu tersebut tidak efektif walaupun sudah sedemikian rupa mendiskreditkan Jokowi-Ahok.
”Hingga Kamis (20/9/2012) pagi pun, seorang teman masih menemukan selebaran yang ditumpuk di wilayah Pasar Minggu dan itu tak menggoyahkan perilaku pemilih. Jadi, memang isu SARA tidak menjadi faktor utama. Pendekatan kuno untuk mendiskreditkan begini sudah tak lagi atau tidak akan ’dimakan’ oleh masyarakat umum walau belum seluruhnya. Jika memang ada kedewasaan masyarakat dalam menyikapi hal ini, kampanye hitam apa pun tak kena,” kata Haryanto.
Belajar dari Pilkada DKI ini, terkait dengan pengaturan media oleh negara, sebaiknya hanya dilakukan pada media massa mainstream dan membiarkan dinamika dalam media sosial berjalan dengan sendirinya.
”Pesan negatif yang ada ternyata langsung direspons oleh pesan-pesan positif dari kubu lainnya.
Masyarakat sudah makin dewasa,” ujar Haryanto.
Bandingkan video berikut ini
SUMBER
Pertarungan keduanya seolah menjadi pertarungan dua brand yang berbeda. Sebelum memasuki pentas pemilihan kepala daerah DKI Jakarta,Fauzi Bowo (Foke) dan Joko Widodo (Jokowi) merupakan dua brand yang memiliki penetrasi di medan yang berbeda-beda. Jokowi, dengan latar belakang daerah, otomatis tak begitu dikenal luas seperti halnya Foke yang sudah akrab di telinga warga ibu kota Jakarta.
Namun, dalam rentang dua bulan terakhir, brand Jokowi justru berada di atas brand Foke. Seperti halnya, hasil hitung cepat perolehan suara Pilkada Jakarta putaran II, pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengungguli pasangan Foke-Nachrowi Ramli (Nara).
Fenomena ini dengan mudah bisa dicatat oleh berbagai situs pemeringkat kompetisi brand melalui pelacakan rekam jejak percakapan terkait dengan dua nama yang berkompetisi itu di jagat internet.
Menurut laman web analytics.topsy.com, salah satu situs yang menyediakan pelacakan percakapan brand, terutama di jejaring sosial Twitter, sejak 24 Agustus 2012, kata kunci Jokowi terus memimpin melawan Foke hingga 21 September, sehari setelah pemungutan suara. Jokowi rata-rata dibicarakan 15.000-30.000 kali tiap hari.
Dari grafis yang dihasilkan Topsy, banyaknya mention atau penyebutan terhadap brand Jokowi ataupun Foke berbanding lurus dengan berita yang ada di media massa.
Nama Jokowi di dunia maya terutama melonjak dibicarakan orang pada 16 September, dipicu berita di sebuah media massa berjudul ”Foke Pertanyakan Motivasi Jokowi Jadi Cagub”.
Berita itu tampaknya lebih condong mengekspos nilai negatif dari Jokowi, tetapi kenyataannya justru memberi umpan balik atau sentimen positif terhadap Jokowi dengan menghasilkan sebanyak 88.441 percakapan di Twitter. Pada hari sama, percakapan terhadap brand Foke menghasilkan 58.511 kali, dengan berita ”Inilah ’Positifnya’ Jokowi di Mata Foke”.
”Fokoke Jokowi”
Jelang hari-H pencoblosan, ada satu tulisan unik bernada humor yang mengatrol pembicaraan positif mengenai Jokowi. Tulisan itu remeh-temeh dan tidak didesain untuk kepentingan kampanye serius, hanya berupa kelakar. Judulnya, ”Baru dapat kabar, Jokowi akhirnya berkoalisi dgn Foke. Namanya Fokoke Jokowi”.
Humor itu ternyata menjadi titik tertinggi untuk meroketkan brand Jokowi dengan total pembicaraan di media sosial naik tajam dari 51.727 menjadi 315.920 kali. Pada hari yang sama, brand Foke juga menanjak, dari 30.458 menjadi 128.561 kali dengan dipicu berita ”7 Janji Foke”.
”Fokoke Jokowi” adalah contoh pengolahan slogan yang kreatif, yang pada malam sebelum pencobloson seolah bergerak menjadi ribuan pasukan yang menghampiri para calon pencoblos via Twitter, Facebook, blog, pesan singkat SMS, juga pesan Blackberry Messenger (BBM). Slogan itu telah menjadi viral marketing, pemasaran gratis yang menyebar bak virus online.
Ikon lain yang berhasil menjadi duta media sosial melawan Foke adalah gambar dengan teks nyentil, ”Jakarta will be OK without F”. Slogan ringan dan menggelitik ini hampir tak terjadi pada kubu Foke.
Isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang bergulir dominan, untuk kelas menengah di perkotaan, ternyata tidak didistribusikan sebagai virus online.
Dengan menggunakan tools atau peralatan analisis lain, bisa dilacak percakapan Foke sebenarnya bukan kalah populer. Hanya saja, sentimen positif lebih lari ke percakapan Jokowi. Hal ini bisa dilihat di socialmention.com, salah satu laman web yang menganalisis kata kunci di berbagai situs jejaring sosial.
Di Social Mention, brand Jokowi memiliki kekuatan 26 persen, sedangkan Foke 21 persen. Kekuatan ini adalah angka unik dari socialmention.com yang diukur berdasarkan jumlah diskusi terhadap brand di media sosial.
Perbandingan sentimen positif terhadap sentimen negatif pada kubu Jokowi adalah 8:1, sedangkan untuk Foke 2:1. Tampak bahwa kubu Jokowi diuntungkan dengan sentimen positif ini.
Unik juga untuk dicatat, brand Jokowi secara konsisten frekuensinya lebih sering dibicarakan dibandingkan dengan Foke, yaitu rata-rata tiap 28 detik sekali untuk Jokowi dan 1 menit sekali untuk Foke.
Howsociable.com menguatkan pernyataan itu dengan memberi skor magnitudo untuk percakapan Jokowi sebesar 6,4, sedangkan Foke 6,1.
Jokowi unggul di semua situs jejaring sosial, misalnya di Twitter, Facebook, Youtube, Google plus, Tumblr, dan Yfrog.
Partisipasi kelas menengah
Analis pemasaran internet yang juga CEO Virtual Consulting, Nukman Luthfie, memaparkan, kampanye di media sosial dalam Pilkada DKI Jakarta merupakan contoh paling bagus untuk melihat bagaimana media sosial bekerja.
”Jakarta adalah pusat penggunaan media sosial di Indonesia, pengguna Twitter di Jakarta paling banyak, akibatnya pembicaraan Pilkada DKI di Twitter ramai,” katanya.
Kampanye di media sosial telah menjadi perang terbuka bagi para pendukung. Bahkan, perang itu juga melibatkan orang luar daerah mengingat Jokowi dan Ahok berasal dari luar daerah. Uniknya, justru latar belakang calon yang luas itu memicu penyebaran pembicaraan hingga luar Jakarta, mereka ikut membangun pencitraan untuk kubu Jokowi-Ahok.
”Orang-orang yang tadinya tidak antusias menjadi antusias membahas Pilkada Jakarta. Perbincangan di kelas menengah, terutama di Twitter, menjadi kencang,” kata Nukman.
Mereka lebih memilih perang lewat Twitter, bukan lewat Facebook. Perang ”140 karakter” lewat Twitter kini lebih disukai masyarakat perkotaan dibandingkan dengan di Facebook.
Perilaku ini khas berasal dari generasi melek Twitter. Dengan demikian, mereka ini adalah generasi baru yang memasuki ranah politik. ”Inilah awal dari partisipasi masyarakat kelas menengah di bidang politik,” kata Nukman.
Lalu, mengapa Jokowi dalam percaturan media sosial unggul dibandingkan dengan Foke?
”Jokowi muncul karena perlawanan, orang sudah capai dengan wajah lama. Foke sudah 35 tahun di pemerintahan Jakarta,” kata Nukman. Terlebih lagi, Jokowi ternyata lebih dekat dan lebih ramah dengan blogger dan pengguna Twitter.
Bukan berarti kubu Foke tak mengerahkan kekuatan media sosial. Kata Nukman, kubu Foke justru merekrut orang-orang profesional yang hidupnya memang berasal dari jualan kampanye di media sosial. Sebaliknya, kubu Jokowi lebih mengandalkan sukarelawan, bahkan banyak di antaranya tak dibayar.
Hal menarik lain dalam perang media sosial, pada putaran kedua media sosial lebih banyak digunakan sebagai black campaign.
”Jika pada putaran pertama lebih ke perang program, pada putaran kedua ini digunakan untuk kampanye hitam, saling menjatuhkan satu sama lainnya,” kata Nukman.
Beberapa kampanye hitam itu ditengarai berhasil mendongkrak perolehan suara Foke, terutama dari masyarakat kalangan bawah. Hanya saja, Jokowi akhirnya memenangi pertandingan ini karena faktor orang-orang Jakarta yang ingin melihat perubahan.
Pantas diapresiasi
Satu hal yang pantas diapresiasi dari perang 140 karakter ini, kata Nukman, adalah meskipun pertengkaran dan perselisihan pendapat tinggi di tingkat media sosial, di dunia nyata tak pecah pertikaian.
”Calon petahana juga fair dalam menanggapi hasil perhitungan cepat. Dari kubu yang menang sementara versi hitung cepat juga tidak arogan menghina. Tim sukses juga tidak saling berantem, inilah contoh penggunaan media sosial yang baik untuk daerah lain,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto memiliki penilaian senada. Menurut dia, kedua kubu sama-sama menggunakan media sosial dengan intens. Kedua pihak menyadari media sosial sangat membantu dalam hal pembentukan citra para kandidat, menyampaikan pesan kampanye, serta visi-misi-program para kandidat.
”Sejak awal kita melihat para simpatisan Jokowi, yang merupakan paduan dari tim yang dibentuk tim sukses serta para sukarelawan, ikut berkontribusi pada pembentukan citra positif Jokowi-Ahok,” kata Haryanto.
Pertarungan/kampanye tidak hanya melalui baliho dan koran, tetapi juga sampai ke videoklip yang dibuat oleh dua kubu. Kalau mau membandingkan dari sisi video klip, menurut Haryanto, kubu Jokowi-Ahok menawarkan kesegaran dalam penyajian, menyasar anak muda, dan juga massa mengambang.
”Sementara kalau melihat video klip resmi yang dipergunakan Foke-Nara, kelihatan menyasar kelompok menengah bawah dan menonjolkan iming-iming atau janji yang selama ini diklaim sebagai prestasi Foke,” kata Haryanto.
Soal isu SARA, dia juga meyakini bahwa isu tersebut tidak efektif walaupun sudah sedemikian rupa mendiskreditkan Jokowi-Ahok.
”Hingga Kamis (20/9/2012) pagi pun, seorang teman masih menemukan selebaran yang ditumpuk di wilayah Pasar Minggu dan itu tak menggoyahkan perilaku pemilih. Jadi, memang isu SARA tidak menjadi faktor utama. Pendekatan kuno untuk mendiskreditkan begini sudah tak lagi atau tidak akan ’dimakan’ oleh masyarakat umum walau belum seluruhnya. Jika memang ada kedewasaan masyarakat dalam menyikapi hal ini, kampanye hitam apa pun tak kena,” kata Haryanto.
Belajar dari Pilkada DKI ini, terkait dengan pengaturan media oleh negara, sebaiknya hanya dilakukan pada media massa mainstream dan membiarkan dinamika dalam media sosial berjalan dengan sendirinya.
”Pesan negatif yang ada ternyata langsung direspons oleh pesan-pesan positif dari kubu lainnya.
Masyarakat sudah makin dewasa,” ujar Haryanto.
Bandingkan video berikut ini
SUMBER
Jumat, 07 September 2012
Kegiatan Weekend


harianking.blogspot.com
Hari sabtu adalah hari weekend yang dinanti oleh sebagian besar keluarga. Setelah enam hari berkutat dengan kerjaan kantor atau pun bisnis yang tiada habisnya, sudah menjadi hak humanis jika tubuh perlu terlepas dari stress. Bagaimana Anda mengisi liburan weekend ? Berikut pengalaman saya mengisi kegiatan weekend.
1. Merencanakan kegiatan
Apa yang menjadi kegiatan yang paling diminati ? Nah, kalau saya terlebih dahulu merencanakan kegiatan terlebih dahulu berdasarkan kegiatan/ hobi yang saya minati. Karena saya memiliki beberapa kegiatan yang saya sukai seperti menulis artikel, menyalurkan hobi masak, membaca buku kesukaan, bermain video game dan sesekali waktu refreshing keluar kota Medan, maka yang saya lakukan adalah membuat daftar kegiatan. Mengapa saya buat daftar kegiatan weekend yang ada dibenak saya? Agar lebih mudah mengatur kegiatannya toh :) Percayalah.
2. Atur jadwal
Setelah saya membuat daftar kegiatan weekend yang saya sukai, selanjutnya saya coba atur kegiatan santai tersebut sesuai dengan jam yang saya tentukan sendiri. Misalnya, jam olah raga pagi dari jam 5 pagi hingga jam 7 pagi. Selanjutnya bersih-bersih rumah dan cuci pakaian numpuk- eit, jangan salah, kegiatan bersih-bersih rumah dan mencuci pakaian sering mengasyikkan kok asal diselingi dengan lagu-lagu kesukaan Anda :) - . Aturlah jadwal agar hidup ini tertib :)
3. Selanjutnya, eksekusi perencanaan !
Ini yang paling ditunggu, melaksanakan perencanaan. Enjoy lah dengan susunan kegiatan Anda karena Anda sendiri yang merencanakan kegiatan yang membuat diri Anda tenang, lepas dari stress dan membuat Anda bisa bersemangat kembali :)
Kunci utama agar kegiatan weekend Anda bernilai adalah janganlah terlalu boros dengan kegiatan Anda sehingga terhindar dari out of budget. Sesuaikanlah ;)
Heppy weekend :)
Senin, 09 Juli 2012
Kita, Mencegah Keji dan Mungkar


Bulan Ramadhan sebentar lagi akan hadir. Kemungkinan sebagian besar umat Islam akan ramai-ramai beraktivitas di mesjid seperti menjalankan sholat. Entah benar atau tidak, jika beribadah sholat di mesjid maka pahala yang diperoleh akan jauh lebih besar ketimbang sholat di mesjid di lain bulan.
Ketimbang sibuk menghitung pahala yang tiada habis dan memang bukan urusan Anda yang menghitungnya, alangkah lebih baiknya jika kita melihat sisi lain dari sholat. Diharapkan sambil menikmati segelas kopi hangat yang nikmat Anda bisa menelurusi opini ini. :)
Secara definisi, Sholat (sholat: صلاة; transliterasi: Shalat), merujuk kepada ritual ibadah pemeluk agama Islam Menurut syariat Islam, praktik shaolat harus sesuai dengan segala petunjuk tata cara Rasulullah SAW sebagai figur pengejawantah perintah Allah. Rasulullah SAW bersabda, Salatlah kalian sesuai dengan apa yang kalian lihat aku mempraktikkannya. Secara bahasa sholat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti, doa. Sedangkan, menurut istilah, bermakna serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam .
Sudah sudah, kita hentikan arti definitif dari sholat karena kita bukan menghabiskan waktu hanya untuk mengenal dari definisi sholat. :)
Ayat Quran sebagai referensi absolut tentang sholat dijelaskan pada salah satu ayat : "Sesungguhnya salat itu mencegah dari keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (al-‘Ankabut : 45)"
Secara penglihatan mata, banyak dari kita sholat. Namun, kita juga kecolongan bahwa banyak juga yang sholat tapi kegiatan yang keji dan mungkar tetap marak dilakukan. Lebih sedihnya lagi, kegiatan yang keji dan mungkar terjadi secara musiman (maksudnya, kalau sudah bulan puasa, intensitasnya dikurangi atau malah di stop sementara,nanti setelah lewat bulan puasa dilanjutkan lagi)
Alkisah, seorang pelacur di salah satu kota besar di Indonesia yang pernah saya temui berkisah tentang kehidupan bulan puasa yang begitu berat baginya untuk dijalankan. Selain sepi pelanggan, ada beban mental dosa yang sudah ia tanggung sebagai akibat dari profesinya sebagai pelacur (hingga seolah-olah Tuhan pun tidak mau mengampuni dosa pelacurannya), namun aneh bin ajaibnya dia tetap menjalankan sholat (walaupun tidak 5 waktu). Apakah Anda tahu doa sehabis sholat yang dipanjatkannya? Maka dari setiap lelaki yang menggunakan jasanya, si pelacur berdoa semoga ada lelaki yang mau menikahinya dan memberi penghidupan yang layak tanpa harus melacur lagi. Jadi, sebelum melacur, si pelacur berdoa terlebih dahulu.
Apakah ceritanya lebay alias berlebihan? Tidak. Ini dari sumbernya langsung.
Dari secuil kisah tadi, peran sholat sebagai pencegah perbuatan keji dan mungkar sudah tidak zamannya lagi hanya dipahami sebagai gerakan fisik yang diawali oleh takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Ada pesan bahwa dengan kita mencegah setiap perbuatan keji dan mungkar yang dimulai dari diri sendiri maka sebenarnya kita menjalankan nilai sholat baik secara fisik (seperti sholat yang dicontohkan oleh Rasul) dan nilai budaya sehingga tegaklah Dinul Islam sebagai sistem yang saling selamat dan menyelamatkan seperti ucapan salam pada akhir sholat.
Idealnya, kalau sudah tegaknya sholat, alih-alih akan korupsi pengadaan Al Quran tentu tidak akan terjadi. Atau mungkin kita perlu mencontoh negara-negara sekuler, atheis dan komunis bagaimana "sholat" mereka begitu tegak dijalankan untuk hal-hal sistemik keumatan. Seperti itulah pemahaman penulis saat ini secara ekstrimnya.
Upaya penegakkan sholat hendaknya juga tidak dibangun atas dasar ketakutan dan punishment ( seperti yang banyak didengungkan tentang khilafah islamiyah). Secara fisik kita mungkin sangat paham betul bagaimana menjalankan sholat, namun kita begitu tergilas akan nilai-nilai budaya yang dibangun lewat pesan-pesan sholat sesuai dengan ayat Quran Al Ankabut: 45.
Adalah benar jika Rasul berpesan jika sudah ditunaikan sholat fisiknya, maka bertebaranlah dimuka bumi untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar, bukan dengan setelah sholat berzikir banyak-banyak untuk mengharapkan pahala sebanyak mungkin
Maka momen ramadhan adalah waktunya untuk introspeksi diri untuk persiapan diri menjelang 11 bulan kedepannya, bukan dengan sekedar mengejar pahala sebanyak-banyaknya.That's right.
Sudah tegakkah sholatnya ? :)
Sabtu, 07 Juli 2012
Kepemilikan


Pernahkah berselisih paham tentang kepemilikan suatu benda, entah itu bisnis, barang ataupun yang lainnya sehingga tindakan "divorce" adalah langkah terbaik? Mmmm, sebaiknya Anda baca kisah berikut ini :)
Seorang Suami dan Istrinya tengah menghadiri sidang perceraiannya. Dalam sidang akan memutuskan siapa yang mendapat hak asuh anak.
Seorang Suami dan Istrinya tengah menghadiri sidang perceraiannya. Dalam sidang akan memutuskan siapa yang mendapat hak asuh anak.
Sambil berteriak histeris dan melompat – lompat si istri berkata :
“Yang Mulia, Saya yang mengandung, melahirkan bayi itu ke dunia dengan kesakitan dan kesabaran saya!! ”
“Anak itu harus menjadi hak asuh Saya!!”
Hakim lalu berkata kepada pihak suami:
“Apa pembelaan anda terhadap tuntutan istri Anda”
Si Suami diam sebentar, dengan nada datar ia berkata :
“Yang mulia… Jika saya memasukkan KOIN ke mesin minuman Coca-Cola, mesinnya BERGOYANG SEBENTAR, dan minumannya keluar, Menurut Pak Hakim … Minumannya milik saya atau mesinnya?”
Inti dari semua kepemilikan adalah kesepakatan yang di buat bersama sebelumnya sehingga dapat meminimalkan waktu yang terbuang percuma.
Happy Weekend :)
Sumber cerita : disini
Kamis, 05 Juli 2012
Persepsi Pemikiran


Sering mengalami salah paham dengan teman-teman kerja atau siapapun yang berinteraksi dengan Anda ? Bisa jadi awal terjadinya konflik karena persepsi pemikiran tidak harmonis dengan apa yang menjadi pusat pembicaraan sehingga memicu terjadinya konflik. Paling tidak, kisah berikut dapat diambil hikmahnya ^^
Bu Sri, seorang guru kelas satu SD, sangat kesal dgn seorang muridnya yg bernama Gito.
Bu Sri : "Gito, mengapa kamu tidak mau mengikuti pelajaran di kelas?"
Gito : "Saya cerdas, pelajaran kelas 1 terlalu mudah untuk saya, bahkan saya dpt mengerjakan semua soal punya kakak saya yang dikelas tiga. Seharusnya saya ada dikelas tiga juga!"
Bu Sri merasa kesal. Ditariklah si Gito ini keruang Kepala Sekolah.
Ketika si Gito menunggu di depan ruang Kepala sekolah, Bu Sri menjelaskan pada Pak Amir, si Kepala Sekolah, mengenai kelakuan muridnya yang bernama Gito ini.
Pak Amir kemudian ingin mengetahui sebrapa pandai si Gito ini hingga ia berkeinginan dinaikan ke kelas tiga.
Apabila ia tidak dpt menjawab test yang diberikan oleh Pak Amir, maka ia harus kembali sbg murid kelas satu dan berkelakuan yang sepantasnya, atau apabila tidak menurut maka orang-tuanya harus dipanggil.
Bu Sri setuju.
Pak Amir : "Gito, berapa 3 x 3?"
Gito : "9"
Pak Amir : "Berapa 6 x 6?"
Gito : "36"
Kemudian Pak Amir memberikan test-test berikutnya sesuai dgn mata plajaran kls tiga SD & smua pertanyaan dpt dijawab dgn benar oleh sang genius kecil.
Pak Amir lalu berkata pada Bu Sri ...
Pak Amir : "Saya rasa Gito dapat langsung dipindahkan ke kelas tiga"
Bu Sri : "Pak Amir, mohon tunda dulu keputusan ini. Saya akan memberikan bebrapa pertanyaan lagi padanya"
Pak Amir dan Gito setuju.
Bu Sri : "Apa yg dimiliki sbanyak empat buah oleh seekor sapi sdangkan saya hanya punya dua?"
Gito : "Kaki"
Bu Sri : "Apa yang ada dicelanamu tapi tak ada di celana saya?"
Gito : "Saku/kantong"
Bu Sri : "Coba tebak sebuah benda dalam bahasa Inggris yang dimulai dgn huruf 'C' dan diakhiri huruf 'T', dimana benda itu ber-rambut, bulat,lonjong, & mengandung cairan berwarna putih?"
Gito : "Coconut
Kening Pak Amir berkerut dengan mata membelalak.....
Bu Sri : "Benda apa yang dimasukan dalam keadaan keras, memerah, dan dikeluarkan setelah lembek dan lengket?"
Gito : "Permen karet"
Bu Sri : "Apa yang dilakukan pria dalam kondisi berdiri, wanita dengan duduk, dan anjing dengan satu kaki diangkat?"
Gito : "Jabatan tangan"
Bu Sri : "Sekarang saya akan bertanya mengenai 'Siapa saya', ok ?"
Gito : "Ya, Bu Sri"
Bu Sri : "Anda memasukkan tiang anda pd saya. Anda mengikat saya untuk membangkitkan saya. Saya basah sebelum anda basah. Siapa saya?"
Gito : "Tenda"
Bu Sri : "Sebuah jari memasuki saya. Anda menggerakan si jari tersebut. Pengantin pria adalah yang pertama melakukannya. Siapa saya?"
Gito : "Cincin kimpoi"
Bu Sri : "Saya terdiri dari berbagai ukuran. Ketika saya sakit, cairan menetes. Siapa saya?"
Gito : "Hidung"
Bu Sri : "Saya mempunyai batang keras. Ujungku dpt menembus. Siapa saya?"
Gito : "Panah"
Bu Sri : "Saya test kamu dalam bahasa Inggris lagi.
Sebutkan sebuah kata yang dimulai dgn huruf 'F' dan diakhiri huruf 'K' yang dapat dimainkan dengan penuh kenikmatan?"
Gito : "Firetruck"
Pak Amir yg hampir pingsan, langsung menyela Bu Sri supaya tidak menanyai Gito lebih lanjut sambil berkata ...
"Bu Sri, taruh dia dikelas lima. Dia lebih pinter dari saya!"
Ngobrol dengan saya yuk ^^
Referensi cerita : disini
Kita, Genius dan Cerdik


Setiap manusia memiliki karakteristik tersendiri. Patut disyukuri jika teman Anda ,saudara, bawahan , ataupun atasan Anda memiliki keunikan tersendiri. Tapi yang patut diingat adalah, janganlah merendahkan orang lain, karena bisa jadi malah lebih rendah daripada orang yang kita rendahkan :) Berikut kisahnya :
Einstein mengajak Mr Bean memainkan sebuah permainan tebak-tebakan.
Einstein: Aku akan mengajukan satu pertanyaan, jika Anda tidak tahu jawabannya maka Anda membayar saya hanya $ 5, dan jika saya tidak tahu jawabannya, saya akan membayar Anda $ 500.
Einstein mengajukan pertanyaan pertama:
Berapa jarak dari Bumi ke Bulan ?
Mr. Bean tidak mengucapkan sepatah kata pun, merogoh saku, mengeluarkan $ 5.
Sekarang, giliran Mr Bean…
Dia bertanya kepada Einstein:
Apakah yang naik ke atas bukit dengan 3 kaki, dan akan turun dengan 4 kaki ?
karena gengsi walaupun Einstein tidak tau jawabannya dia tetap melakukan pencarian internet, dan meminta semua teman-temannya yang cerdas.
Setelah satu jam mencari jawaban, tetapi dia tidak tau juga… akhirnya ia memberikan Mr Bean $ 500.
Einstein sambil penasaran karena merasa dirinya cerdas bisa di kalahkan maka diapun bertanya:
Nah, jadi apa naik ke atas bukit dengan tiga kaki dan turun dengan empat kaki ?
Nah, jadi apa naik ke atas bukit dengan tiga kaki dan turun dengan empat kaki ?
Mr Bean merogoh saku, dan memberikan Einstein $ 5. "
Ngobrol dengan saya yuk ^^
Minggu, 10 Juni 2012
Sisa Kenangan Itu Bernama PT ARUN Blang Lancang


...SISA liuk lidah api di cerobong “train,” kilang, gas alam cair Blang Lancang, Lhokseumawe, Aceh Utara, itu tak lagi menyiramkan benderang cahaya di pucuk langit Rancung, Batu Phat dan Paloh Lada. Sejak dua tahun lalu, lima dari enam pucuk api itu, telah memaklumatkan hari kematiannya. Dan telah raib pula tari kegelian dari kelebat liar jelaga cahaya, yang tiap kali angin laut mengibas ujung lidahnya, Blang Lancang bermandikan sejuta kerlap kerlip bagaikan di sebuah negeri kunang-kunang.
Benderang Blang Lancang adalah benderang negeri di tanah bertuah. Benderang yang selalu meleleh di ingatan Azhari, pensiunan karyawan pabrik gas itu, ketika mengingat kembali jejak tetirahnya, tigapuluh tahun lalu, pada saat meniti karir di PT. Arun NGL dan menutup masa tugasnya yang panjang itu, enam tahun lalu, sebagai “section head,” kepala seksi.
Blang Lancang dengan liuk lidah apinya yang mempesona itu, seperti dikatakan Azhari dengan suara tercekat, ketika membuka hikayat kenangannya kepada kami disebuah sudut Cunda, adalah berlaganya kontroversi simbol status negeri di awan itu. Negeri yang dikutuk dan disanjung anak Rancung, Paloh Lada dan Batuphat karena tak pernah bisa menggapainya.
Negeri yang dikatakan Azhari selalu mengundang rindu dan makian yang saking menggemaskannya sering mengambuhkan penyakit “home sick”nya hingga berbinar keubun-ubun.
Penyakit “home sick” yang mengelupaskan sekat lupa “vertigo”nya untuk kemudian, tertatih-tatih mengembalikan detail ingatannya dalam “buku” kenangan. Dan salah satu isi jalan kenangan yang paling berkesan itu, yang ia ingat secara sempurna, ketika harus memulai ritual “shift” tiga di ujung penggalan malam dan selalu ia awali dengan sepenggal doa pembuka.
Doa tengadah ke lenggok api di langit Blang Lancang yang banjar enam lidahnya bergerak secara simetris. Lidah api di pucuk cerobong asap yang mengaum bersama enam turbin pembangkit berdaya 120 megawat yang menenggelamkan bait pendek doa tengadahnya.
“Tengadah,” yang ia katakan berulang kali dengan kalimat puitis, “sebagai rukun pembuka kerja.” Rukun yang menyertai doa langitnya ketika membasuh pucuk api Blang Lancang dengan syahdu. Pucuk api yang meliukkan gerak cepat berkelok yang bagaikan langkah memutar tarian seudati milik Syech Lah Geunta maupun Syeh Rasyid. Liuk ketika angin laut menggelitik yang terkadang, membuat ujung apinya rebah dan menjulurkan jejak cahaya hingga jauh ke Paloh Lada dan Batu Phat, dua desa tetangganya.
Blang Lancang, kini, ketika kami “mudik,” awal pekan lalu, hanya menyisakan satu, dari enam, lidah api. Lidah api yang meliuk lamban, bagaikan penari di usia senja yang merentang gerak tertatih-tatih, di tengah auman kilang gaek yang meringis ketika diberitahu akan menerima “eska” pensiun dua tahun lagi.
Kilang uzur yang ketika kami datang sedang merintih dan menjalarkan auman bersuara parau dan tertatih-tatih untuk menyelesaikan masakan gas alam cair untuk memenuhi janji kontrak pengapalan ke Busan, Korea Selatan.
***
Benderang Blang Lancang adalah benderang negeri di tanah bertuah. Benderang yang selalu meleleh di ingatan Azhari, pensiunan karyawan pabrik gas itu, ketika mengingat kembali jejak tetirahnya, tigapuluh tahun lalu, pada saat meniti karir di PT. Arun NGL dan menutup masa tugasnya yang panjang itu, enam tahun lalu, sebagai “section head,” kepala seksi.
Blang Lancang dengan liuk lidah apinya yang mempesona itu, seperti dikatakan Azhari dengan suara tercekat, ketika membuka hikayat kenangannya kepada kami disebuah sudut Cunda, adalah berlaganya kontroversi simbol status negeri di awan itu. Negeri yang dikutuk dan disanjung anak Rancung, Paloh Lada dan Batuphat karena tak pernah bisa menggapainya.
Negeri yang dikatakan Azhari selalu mengundang rindu dan makian yang saking menggemaskannya sering mengambuhkan penyakit “home sick”nya hingga berbinar keubun-ubun.
Penyakit “home sick” yang mengelupaskan sekat lupa “vertigo”nya untuk kemudian, tertatih-tatih mengembalikan detail ingatannya dalam “buku” kenangan. Dan salah satu isi jalan kenangan yang paling berkesan itu, yang ia ingat secara sempurna, ketika harus memulai ritual “shift” tiga di ujung penggalan malam dan selalu ia awali dengan sepenggal doa pembuka.
Doa tengadah ke lenggok api di langit Blang Lancang yang banjar enam lidahnya bergerak secara simetris. Lidah api di pucuk cerobong asap yang mengaum bersama enam turbin pembangkit berdaya 120 megawat yang menenggelamkan bait pendek doa tengadahnya.
“Tengadah,” yang ia katakan berulang kali dengan kalimat puitis, “sebagai rukun pembuka kerja.” Rukun yang menyertai doa langitnya ketika membasuh pucuk api Blang Lancang dengan syahdu. Pucuk api yang meliukkan gerak cepat berkelok yang bagaikan langkah memutar tarian seudati milik Syech Lah Geunta maupun Syeh Rasyid. Liuk ketika angin laut menggelitik yang terkadang, membuat ujung apinya rebah dan menjulurkan jejak cahaya hingga jauh ke Paloh Lada dan Batu Phat, dua desa tetangganya.
Blang Lancang, kini, ketika kami “mudik,” awal pekan lalu, hanya menyisakan satu, dari enam, lidah api. Lidah api yang meliuk lamban, bagaikan penari di usia senja yang merentang gerak tertatih-tatih, di tengah auman kilang gaek yang meringis ketika diberitahu akan menerima “eska” pensiun dua tahun lagi.
Kilang uzur yang ketika kami datang sedang merintih dan menjalarkan auman bersuara parau dan tertatih-tatih untuk menyelesaikan masakan gas alam cair untuk memenuhi janji kontrak pengapalan ke Busan, Korea Selatan.
***
Ya, itulah sejumput kisah sisa kilang tua generasi pertama. Dan itu pula sisa peninggalan kilang yang ketika dibangun tahun 1976 dicatatkan sebagai yang paling moderen hasil temuan “revolusioner” teknologi minyak dan gas. Teknologi kilang yang dibangun dengan rekayasa konstruksi oleh perusahaan ternama dunia “Bechtel,” dan disanjung, kala itu, sebagai terobosan diversifikasi energi untuk memadatkan gas alam guna memisahkan unsur “condensate,” sejenis minyak lainnya, yang pengapalannya di ekspor ke Selandia Baru, serta elpiji, yang dijual ke pasar domestik, sebagai produk ikutannya.
Untuk mengingat tonggak sejarah penemuan diversifikasi bahan bakar fosil ini menjadi produk gas alam cair, Blang Lancang tidak hanya dikukuhkan sebagai “pabrik gas terbesar di dunia,” mengalahkan kilang gas serupa di Alzajair, tetapi juga menerima puja dan puji sebagai kilang penghasil gas paling bersih emisi karbonnya.
Itulah sepotong cerita masa lalu kilang yang dibangun dengan komposisi kepemilikan saham antara PT. Pertamina, pemegang kontrak karya (55 persen), Mobil Oil, kontraktor sekaligus operator ladang gas (kini, setelah di akusisi, menjadi Exxon Mobil (30 persen) dan JILCO, mewakili pembeli Jepang dan Korea Selatan (15 persen).
Dan itu pula yang membawa kenangan panjang bagi “euforia” teknologi ketika gas alam cair bisa dipadatkan untuk kemudian dikapalkan dengan tanker khusus dan di ekspor ke terminal Osaka maupun Kobe di Jepang atau Busan di Korea Selatan untuk kemudian disalurkan sebagai energi ke perusahaan pembangkit listrik negara tersebut.
Temuan teknologi gas alam cair ini pula yang mendorong pemerintah membangun dua pabrik pupuk di desa tetangga Blang Lancang, Kruenggeukeuh. PT Pupuk Iskandarmuda dan PT Pupuk Asean Aceh Fertilizer serta sebuah pabrik kertas PT. Kertas Kraft Aceh.
Kita tidak hanya mencatat temuan tercanggih dari produk minyak dan gas bumi, kala itu, yang mengubah Blang Lancang maupun Kruenggeukeuh sebagai kawasan seperti negeri antah berantah untuk kemudian di “syahadat”kan sebagai kawasan bernama zona industri.
Tetapi juga, Blang Lancang, mengalami transformasi kultural yang dahsyat dengan masyarakat plural yang mengedapankan etos kerja dan mengabaikan “domestic social cultural.” Blang Lancang mengalami penyakit “megalomania” yang menjadikannya gugup dari hembusan napas budaya “syariat.” Blang Lancang mengalami “geger budaya” dan tercampak ke dalam barisan “zona western” yang rikuh dan mengingatkan kita kepada kehidupan di ladang dan kilang di Texas sana dengan kultur yang acuh.
Blang Lancang, Batu Phat ataupun Rancung, ketika itu memang sebuah zona “western.” Zona orang dengan “style” celana “jeans,” sepatu “booth,” dan “helm” putih bertuliskan “bechtel” ataupun “mobil” dan bercas-cis- cus “England Americo” sembari menggasak “steak” dan “burger” di dapur “Indocater,” yang kemudian menularkan gayanya bak penyakit “sampar” ke masyarakat di kampung-kampung marjinal di seputar pabrik.
***
Blang Lancang, kini, ketika kami datang bertandang, awal pekan lalu, sedang menjalani hidup senja, di usia tigapuluh tujuh tahun. Kilang uzur yang mengenang masa kejayaannya ketika mencatatkan puncak produksinya dengan mengapalkan sebanyak 224 gas alam cair ke Kobe, Osaka dan Busan.
Blang Lancang, kini, adalah sebuah pabrik gas masa lalu.
Dan ketika kami singgah di sana, di sebuah malam temaram, di penanggalan awal Januari lalu, gerimis sedang membasuh kawasan itu. Dari arah Batu Phat, ketika kami menengadah ke langit timurnya, perasaan getir menyengat di selangkang memori. Perasaan getir yang datang menggelitik kepiluan hati kami kala menyaksikan cahaya lidah apinya meliuk lunglai dan sesekali berkelebat dipeluk angin timur.
Lidah api yang menari sendirian tanpa ditemani lagi lima cerobong asap tetangganya yang sudah lama mampus. Sisa lidah api yang hanya bersungut ketika mengibaskan jilatan cahaya “peusijuek”nya ke langit kelam.
Malam itu, di sebuah kedai kopi di pasar Batu Phat, kami tak melihat lagi gairah Blang Lancang dengan kesibukan pekerja “shift” dua dan tiganya berjalan dipelukan malam dan melarikan truk serta pikap berlabel PTA ke arah Rancung. Juga telah raib pula cahaya benderang yang selama puluhan tahun membasuh langit Paloh Lada, Batu Phat maupun Blang Lancang sendiri. Semuanya telah tamat. Telah usai.
Dan ketika seruputan kopi terakhir kami terasa pahit, seorang kawan mendadak berceloteh dengan bibir bergetar menahan gumam.“Sudah usai lima pemakaman di Blang Lancang tanpa melantunkan doa samadiah berjamaah ........”
Kawan itu, Rusdi, anak Paloh Lada, yang dulu pernah menjadi “orang penting” dan mendapat jatah sebagai “stringer” mengurus community development di sana. Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya.
Kerongkongannya tercekat ketika bianglala kenangan Blang Lancang singgah dalam ingatannya. BlangLancang tahun delapanpuluhan. Blang Lancang yang bagaikan “enklaf” di sebuah negeri siluman, negeri antah berantah, bertabur cahaya dan tak pernah digenggam sebagai milik anak “nanggroe” sebagai bagian tanah “ware’eh” pusaka indatunya.
“Dulu kami hidup bagaikan di Texas. Semburan cahaya benderang sepanjang tahun dan kesibukan pekerja pabrik hilir mudik dengan mobil bertulis PTA sebagai simbol status sosial para pekerja. Dan kami sendiri tidak pernah sebagai tuan di sini”
Rusli pantas mengenang masa keemasan pabrik gas alam cair bernama PT. Arun NGL itu dengan dada sesak. Ketika pabrik gas yang usianya tersisa dua tahun lagi. Pabrik gas yang sering diocehkan entah milik siapa di tanah milik kakek moyangnya dan limpahan dollarnya berserak tanpa pernah memberikan kesejahteraan anak Blang Lancang atau Batu Phat yang terusir ke pucuk Mbang sebagai kasta “paria” atas nama relokasi.
Kasta “paria” yang di “rodi” siklus kehidupannya dari nelayan dan petambak “neuheun” menjadi petani sayur dengan penyuluh yang didatangkan dari negeri “bule” untuk kemudian bubar tanpa pernah mendapat ujung cerita yang “happy ending.”
Dan anak-anak Blang Lancang, Rancung maupun Batu Phat, kini, usai “fiesta” gas alam itu setelah perut buminya kempis, melata menjadi penganggur, dan bagian lainnya terlunta-lunta mengikis lumut “rasueki” di seputar tanah bertuah milik “ayah-moyangnya.” Tanah bertuah yang ketika “pipa line”nya menyisakan tetesan terakhir mendapat jatah pengembalian bagi hasil sebesar 70 persen.
“Apalah arti pembagian tujuh puluh persen distribusi pendapatan setelah jumlah pengapalannya 22 kali setahun. Bukan 224 pengapalan. Inilah zaman, ketika tipu Aceh tidak lagi menjadi milik anak negeri,” ujar seoeang pengamat di Banda Aceh. Tipu menipu yang memanipulasi angka “cost recovery” yang arus kasnya pembiayaannya, “operational cost” berada diselangkah celana bule Amerika.
Itulah penggalan kisah anak Blang Lancang dan Rancung maupun Batu Phat yang awalnya mendapat ganti rugi pembebasan tanah dengan ikatan duit berlimpah menyembul di kantong dan membeli “Honda CB” sampai ke Medan.
Anak Blang Lancang yang kemudiannya, setelah hamburan duitnya berceceran membeli kemiskinan, kembali menjadi “buruh” dengan panggilan keren “bang bechtel” dan di hari-hari kami bertandang masih terbata-bata menceritakan ceceran kisah “sukses” duit ganti rugi yang dibelanjakan kakek dan ayahnya untuk membasuh daki kemiskinan. Sabun daki kemiskinan Honda CB, Kijang pikap kotak sabun dan rumah di Pulaubrayan serta mencampakkan keranjang “meuge” berbau anyir “engkot muloh dan udang wat.
Itulah sebuah ironi pengajaran masa lalu yang yang tak pernah kembali untuk kemudian ingin ditebus anak cucu mereka dengan menuntut balik tanah ulayat milik “indatu”nya dengan berkemah di jalur pipa.
***
2014, Blang Lancang, kilang yang pernah menyandang predikat “Terbesar di Dunia” itu akan tutup buku bersamaan dengan berakhirnya kontrak ekspor gasnya dengan Korea Selatan. Sisa kontrak yang tersisa sekitar 40-an pengapalan akan dipenuhi sepanjang dua tahun ke depan.
Untuk tahun ini, menurut manajemen PT Arun, ekspor gas ke Busan, Korsel tidak akan lebih dari 22 kapal, yang berarti sama dengan ekspor tahun 2011. Sedangkan ekspor gas ke Kobe dan Osaka telah tamat tahun 2010 lalu yang sekaligus pula memensiunkan lima train Blang Lancang.
Blang Lancang, usai “fiesta” panjang dollar berbau amis yang mengalir ke pundi-pundi APBN selama tiga dekade lebih, tahun 2014, menyisakan baris pertanyaan yang belum seluruhnya terjawab tuntas.
Pertanyaan menggelitik tentang pepatah plesetan, “habis gas besi dibangkaikan.” Pertanyaan yang juga membangkitkan koreng di luka tak berparut sepanjang tanah bekas “neuhun” milik anak nanggroe yang ditendang domisilinya ke bukit Mbang.
Akan jadi rongsokankah kilang, turbin gas pembangkit 120 megawat, pelabuhan, dan tanki serta pipa-pipa gas milik Blang Lancang itu? Akankah raib nilai buku kekayaan, hasil audit internal Pertamina, Rp. 6,5 triliun itu dari tanah Rancung, Batu Phat dan Blang Lancang?
Itulah pertanyaan paling mengusik sepanjang hari-hari ditahun terakhir kehidupan kilang gas itu. Pertanyaan akan dicampakkan kemana onggokan “besi tua” yang berkahnya untuk negeri ini telah dilumat secara bancakan antara pemodal, spekulan dan pemerintah pusat yang mengatasnamakan kepentingan fiskal.
Kepentingan pembangunan yang wujudnya tak pernah dinikmati anak-anak Blang Lancang, Batu Phat, Paloh Lada hingga melingkar, nun jauh ke sana, ke Syamtalira Aron maupun Syamtalira Bayu yang api “point A” maupun “point B”nya telah padam. Dan kantor Exxon Mobil telah dialih pinjamkan ke Pemda Aceh Utara atas kemura-hatian PT. Pertamina.
Di ujung tahun kemarin terdengar skenario baru tentang nasib akhir Blang Lancang. Skenario untuk memungsikan sebagai terminal gas yang bahan bakunya didatangkan dari Bontang dan Tangguh. Terminal berdurasi investasi 175 juta dollar yang akan mengalirkan gasnya melalui pipa sepanjang 250 kilometer ke Medan dan akan menghabiskan belanja mendekati angka 300 juta dollar.
Terminal yang kelak akan membangkitkan gairah birahi PT PIM mengejar kapasitas penuh produksi. Terminal yang juga menunda pembangkaian PT AAF menjadi potongan besi tua. Dan juga menghidupkan harapan kehidupan bagi PT KKA menjalani ritual sebagai sebuah pabrik kraft peling prestiseus.
Kita belum tak tahu secara persis apakah janji mengubah Blang Lancang menjadi terminal gas ini mimpi halusinasi atau ekstase “cet langet” model baru. Sebab, sebelum godaan menjadikan Blang Lancang sebagai terminal gas, sudah terbit sebuah Perpres tentang penunjukan Belawan sebagai terminal suplai untuk kawasan Sumatera bagian Utara.
Kita mengingatkan dengan keras, kepada siapapun dia, jangan paksa lagi Aceh mencabut pedang atas nama “perjuangan” untuk menegakkan harga dirinya sebagai “bangsa” bermartabat untuk merebut muntahan janji keadilan. Jangan lagi bangun jalan tak berujung yang ketika menggapainya harus di aplaus dengan sorak-sorai perjuangan dan harus direbut dengan salakan bedil dan banyak jirat yang kuburnya tak bernisan.
Blang Lancang ketika kami memunggunginya di pekan kedua Januari lalu, usai menyantap nasih gurih Batu Phat, menunduk kalem di ujung dhuha yang langit bewarna kelabu, “reudok.” Awan hitam yang berlari digelitik taifun kecil. Hujan, entah tumpah atau tidak, kami tidak lagi pernah tahu. Tapi, yang kami tahu, setelah beringsut dari tanah penuh janji itu, proposal terminal Blang Lancang masih bergantung di awan hitam langit negeri “perjuangan” ini. -Atjeh post.
Minggu, 20 Mei 2012
Kita, Pendidikan, Skripshit, Dan Pengabdian


Saya harap menyiapkan secangkir kopi hangat yang nikmat atau teh hangat dan juga cemilan sembari menikmati artikel ini ^^
Tugas akhir (TA) atau lebih dikenal dengan istilah skripsi, thesis atau desertasi atau apapun itu, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jenjang pendidikan S1 hingga S3. Tapi mau dikemanakan tugas akhir itu?
Iseng-iseng saya menelusuri tiap-tiap perpustakaan yang ada di beberapa jurusan universitas yang ada di sumatera utara Medan sebagai sampel penelitian kecil-kecilan ini. Maka pemandangan pertama yang saya jumpai adalah anak-anak mahasiswa yang sibuk mencari literatur untuk kebutuhan bahan tugas akhirnya dan tumpukan tugas akhir yang sudah dijilid yang dibiarkan menggunung dan tertutupi oleh debu (jika sering dijadikan bahan literatur, maka tugas akhir itu tetap kelihatan bersih). Terlepas oleh stigma plagiat,
Selidik punya selidik, dari tahun ketahun ada ribuan lulusan yang diwisuda oleh Universitas Sumatera Utara (USU) seperti yang diberitakan di sini.
Wow, ribuan kepala yang diwisuda dari berbagai jenjang program seperti dari diploma, sarjana, pasca sarjana dan doktoral. untuk 1 universitas sebesar USU. Maka ada ribuan TA yang juga akan "digudangkan" juga dong, walaupun hanya sebagian sangat kecil pengabdian dari TA tersebut yang berguna bagi orang lain.
Bagaimana dengan jumlah pengeluaran untuk biaya pendidikan perkepala hanya untuk menggudangkan TA Anda ? Variasi antara 10 hingga ratusan juta rupiah tergantung jenjang pendidikan yang di ambil dan status perguruan tinggi apakah negeri atau milik swasta. Yang pastinya jumlah yang dibutuhkan hanya untuk sekolah di perguruan tinggi saat ini hingga mencapai diatas 10 jutaan Rupiah hingga diwisuda.
Belum lagi dengan dinamika dari satu kepala yang sedang kuliah juga membuat kepala yang lain juga ikutan kena getahnya seperti orang tua kita yang makin pusing memikirkan pinjaman uang karena tingginya biaya kuliah, dosen yang makin killer karena sudah lama kehilangan esensi pendidikan di kamus pendidikan di kepalanya, dan segenap pihak stakeholder yang makin merunyamkan sistem pendidikan karena motifnya sudah material UUD (ujung-ujungnya duit) diatas kepentingan mencerdaskan anak bangsa. Maka katastropi pendidikan di Indonesia terlihat jelas di perguruan tinggi di Medan hanya dengan kenyataan di depan mata bahwa ada tumpukan TA yang berdebu yang makin menggunung yang tinggal dibakar saja karena sudah tidak cukup untuk disimpan di gudang penyimpanan TA. Seperti inikah nasib akhir TA lulusan perguruan tinggi?
Tidak sedikit pengorbanan para mahasiswa semester capek ini menguras tenaga, waktu, pemikiran dan uang yang pinjam sana sini untuk menyelesaikan penelitian TA mereka. Belum lagi mereka ini berhadapan dengan karakteristik dosen-dosen pembimbing yang punya warnanya masing-masing dan administrasi yang makin centang prenang dengan adanya uang pelicin layaknya birokrasi di jajaran pelayanan publik.
Semakin banyak karya para lulusan seharusnya makin membuat Indonesia makin maju kesejahteraannya karena atas tebakan logika sederhana akan menunjukkan adanya korelasi tersebut. Tapi kenyataan berkata lain, malah tidak menunjukkan korelasi itu tapi menimbulkan masalah baru yang bernama : PENGANGGURAN TERDIDIK ! Kasihan !
Idealnya, Tugas Akhir adalah bentuk representatif para terdidik ini untuk terjun ke masyarakat untuk mengabdi agar Indonesia makin sejahtera. USU saja memiliki tri darma pendidikan untuk menunjukkan visi mereka bahwa para lulusannya adalah terbaik bagi masyarakat awam sekitarnya. Sialnya, peran perguruan tinggi hanya sebatas meluluskan mahasiswanya dengan setumpuk tugas akhir kuliah. Setelah lulusan diwisuda, berfoto ria bersama teman-teman, orang tua dan sanak keluarga, mengadakan sukuran atau pesta maka habislah sudah tugas besar perguruan tinggi. Bagaimana dengan kelanjutan hidup para lulusan ini ? "Emang gue pikirin? Cari sendirilah ! " Kira-kira begitulah lepas tangannya perguruan tinggi dibalik brand nama besar perguruan tinggi tersebut. Brand nama perguruan tinggi hanya sebagai pemanis di sertifikat lulus kuliah saja. Tidak lebih dari yang diekspektasikan. Begitu juga dengan TA yang dibiarkan menumpuk yang makin dimakan usia, debu, bahkan rayap. Miris !
Bagaimana solusinya ? Saya meng-googling sistem pendidikan Finlandia dari beberapa blogger dan artikel sebagai bentuk contoh pendidikan terbaik di semua tatanan pendidikannya mulai dari sejak SD hingga perguruan tinggi (klik di sini dan di sini) . Kita perlu belajar tentang esensi Tugas Akhir kuliah untuk membentuk watak sebagai pembelajar bahwa saya, Anda, beserta para lulusan yang lain sedang dihadapkan oleh problematika kemasyarakatan. Cukuplah pernyataan ini sebagai renungan: " Apakah karya penelitian tugas akhir ini akan berguna bagi masyarakat sebagai bentuk pengabdian? Atau akan berakhir begitu saja terdiam dan dibiarkan berdebu bahkan akan digudangkan ? "
Jangan sampai keluar stigma ekstrim bahwa ketimbang menghabiskan uang melanjutkan pendidikan yang tidak jelas di negeri ini dan TA nya dibiarkan teronggok tak berguna, lebih baik investasikan uangnya ke emas dan buka usaha kecil-kecilan. Masalah keilmuan, khan ada oom Google yang serba tahu. hehehehehehehe
Ngobrol dengan saya yuk :)