Jumat, 16 November 2012

Empati, Mi Instan & Harapan

"Hidup tak selezat mi instan..." - Anonym

Siapa yang tak suka dengan hal yang instan ? Contohnya, kaya mendadak karena lotre, dapat warisan entah darimana datangnya, atau menjadi artis idola lewat jalur kompetisi dan hal-hal instan lainnya yang tak bisa disebutkan semuanya.

Semua hal instan tersebutselain dapat menghemat waktu, tenaga, materi dan lain-lain, memang sudah menjadi bagian dari sifat manusia untuk menyukai proses instan.

Nah, siapa yang suka mi instan ? Saya juga suka kok. Selain mudah penyajiannya, aroma yang menggoda dan rasanya yang lezat memang sengaja dirancang agar membuat kita puas dengan mi instan. Tahukah Anda informasi kesehatan tentang min instan yang biasa beredar di pasaran ?

Saya pastikan Anda juga bisa mencari artikel tentang bahaya dari memakan mi instan secara intens. Dampaknya bisa memicu kanker, usus di potong, dan lain sebagainya.

Tapi di beberapa lapisan masyarakat khususnya ekonomi lemah, mi instan justru menjadi pelipur lara perut yang kosong. Bayangkan, dengan uang seribu Rupiah saja sudah bisa menikmati seporsi mi instan setara dengan sepiring nasi untuk mengganjal perut. Layaknya, mi instan hanyalah sebagai makanan darurat saja sebagai pengganti makanan utama.

Empati

Tidak bisa dipungkiri, sebenarnya mi instan lebih di asosiasikan dengan makanan si jelata. Jelata bagi keluarga kurang mampu, mahasiswa berkantong tipis, dan seperti saya yang harus berhemat untuk biaya hidup setelah akad nikah, hehehehehehe...

Mari kita berhitung dulu ya. Jika dalam sehari kita makan 3 kali sehari dengan hitungan per sekali makan habis uang Rp 10.000/ porsi/sekali makan dengan minum hanya air putih masak, maka dalam sebulan habis biaya makan hingga rata-rata Rp 900.000/bulan.

Jika dengan makan mi instan hanya habis biaya Rp2.500/ porsi/ sekali makan dengan asumsi sehari 3 kali makan dan minum air putih masak, maka dalam sebulan hanya habis Rp 225.000/ bulan. Bandingkan perbedaan angka 900.000 dengan 225.000. Perbedaan angka yang fantastis jika dilihat dari sisi rakyat jelata.

Harapan

Bukan tanpa alasan memindahkan kebiasaan sehat menjadi makan-makanan instan yang murah. Saya setuju dengan Anda dengan jawaban alasan PENGHEMATAN. Alasan klasik seperti gaji tanggal 1 sudah koma alias gaji sudah tak cukup untuk menutupi kebutuhan pokok padahal baru tanggal muda, alasan menabung untuk investasi masa depan, atau alasan-alasan yang lain.

Bukan berarti para mahasiswa harus dipaksa untuk tidak makan mi instan kalau toh juga biaya pendidikan makin mahal. Tapi itulah korelasinya jika biaya pendidikan makin tinggi, sudah seharusnya makin mengencangkan ikat pinggang dan memberi isi perut dengan mi instan.

Bukan berarti dengan paksaan ekonomi makin banyak warga pinggiran makin memfavoritkan makan mi instan dan traditional dry rice ( nasi aking) sebagai dampak makin sulitnya mendapatkan penghidupan yang layak di negeri sendiri.

Empati & Harapan

Apakah arti empati bagi kita semua jika ada tetangga di sebelah masih harus menahan lapar? Apakah kita masih sanggup menggantungkan harapan dari berseliwerannya mobil box mi instan yang sedang mendistribusikan mi instannya ? Atau, masihkah kita harus miskin dengan makanan pokok mi instan ?

Ditengah saudara-saudara kita yang masih mengkonsumsi pangan mi instan, masih ada harapan untuk perjuangan penghidupan layak , seperti pendidikan yang terjangkau, menjadi pasangan yang harmonis yang tak cekcok dengan masalah dapur keuangan, dan kesehatan yang layak walaupun  menapaki proses yang tak instan pula akan cita-cita masing-masing individu dan kolektif.

"Tulisan ini sebagai renungan sebelum liburan"



0 komentar:

Posting Komentar