Rabu, 29 April 2009

CHAIRUL TANJUNG

SUKSES BISNIS DI SAAT KRISIS

Belakangan ini, Chairul Tanjung adalah sosok pengusaha yang namanya paling banyak disebut ketika berbicara mengenai peta baru pengusaha besar nasional. Ia banyak disebut sebagai the rising star. Pengusaha pemilik Para Group ini berhasil melakukan lompatan bisnis yang spektakuler justru ketika ekonomi masih dilanda badai krisis. Lompatan besar bermula ketika ia memutuskan untuk mengambil alih kepemilikan Bank Mega pada 1996 lalu. Berkat tangan dinginnya, bank kecil dan sedang sakit-sakitan yang sebelumnya dikelola oleh kelompok Bappindo itu kemudian disulap menjadi bank besar dan disegani. Pada akhirnya bank ini pun menjadi pilar penting dalam menopang bangunan Para Group. Dua pilar lain adalah Trans TV dan Bandung Supermall.

Sebagai sosok pengusaha sukses yang kini langka, Chairul dikalangan teman-teman dekatnya sering dijuluki sebagai The Last of The Mohicans. Sebutan ini mengacu pada sebuah judul film terkenal produksi Hollywood beberapa tahun lalu yang menceritakan kisah penaklukan kaum kulit putih terhadap bangsa Indian di Amerika Serikat sana. Pada akhirnya, bangsa asli yang sebelumnya menjadi tuan tanah dan penguasa wilayah itu kemudian semakin terpinggir dan menjadi sosok langka. Namanya saja sebutan berbau joke sehingga tetap atau tidak penting.

Yang jelas Chairul bukan tergolong pengusaha "dadakan" yang sukses berkat kelihaian membangun kedekatan dengan penguasa. Mengawali kiprah bisnis selagi kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, sepuluh tahun kemudian ia telah memiliki sebuah kelompok usaha yang disebut Para Group. Kelompok usaha ini dibangun berawal dari modal yang diperoleh dari Bank Exim sebesar Rp 150 juta. Bersama tiga rekannya yang lain, ia mendirikan pabrik sepatu anak-anak yang semua produknya diekspor. "Dengan bekal kredit tersebut saya belikan 20 mesin jahit merek Butterfly," ujarnya suatu saat kepada Eksekutif.

Kini pengusaha kelahiran 16 Juni 1962 itu menjadi figur sukses yang sangat sibuk. Ketika Eksekutif meminta kesempatan untuk sebuah wawancara khusus, ia mengaku kerepotan untuk memilih waktu yang tepat. Maklum, selain sibuk mengurus bisnis, pria satu ini juga punya segudang kegiatan kemasyarakatan. Sebelum terpilih menjadi ketua umum PB PBSI beberapa waktu lalu, Chairul telah aktif di berbagai organisasi sosial seperti PMI, Komite Kemanusiaan Indonesia, anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia dan sebagainya. "Kini waktu saya lebih dari 50% saya curahkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan," ungkapnya. (Tokoh Indonesia, Repro Eksekutif No. 269)

BOB SADINO

Bob Sadino adalah salah satu sosok entrepreneur sukses yang memulai usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal dari keluarga wirausaha. Bob berwirausaha karena "kepepet", selepas SMA tahun 1953, ia bekerja di Unilever kemudian masuk ke Fakultas Hukum UI karena terbawa oleh teman-temannya selama beberapa bulan. Kemudian dia bekerja pada McLain and Watson Coy, sejak 1958 selama 9 tahun berkelana di Amsterdam dan Hamburg.

Setelah menikah, Bob dan istri memutuskan menetap di Indonesia dan memulai tahap ketidaknyamanan untuk hidup miskin, padahal waktu itu istrinya bergaji besar. Hal ini karena ia berprinsip bahwa dalam keluarga, laki-laki adalah pemimpin, dan ia pun bertekad untuk tidak jadi pegawai dan berada di bawah perintah orang sejak saat itu ia pun bekerja apa saja mulai dari sopir taksi hingga mobilnya tertubruk dan hancur , kemudian kuli bangunan dengan upah Rp 100 per hari.

Suatu hari seorang temannya mengajaknya untuk memelihara ayam untuk mengatasi depresi yang dialaminya,dari memelihara ayam tsb ia terinspirasi bahwa kalau ayam saja bisa memperjuangkan hidup, bisa mencapai target berat badan, dan bertelur,tentunya manusia pun juga bisa, sejak saat itulah ia mulai berwirausaha.

Pada awalnya sebagai peternak ayam, Bob menjual telor beberapa kilogram per hari bersama istrinya. Dalam satu setengah tahun, dia sudah banyak relasi karena menjaga kualitas dagangan,dengan kemampuannya berbahasa asing, ia berhasil mendapatkan pelanggan orang-orang asing yang banyak tinggal di kawasan Kemang, tempat tinggal Bob ketika itu.Selama menjual tidak jarang dia dan istrinya dimaki-maki oleh pelanggan bahkan oleh seorang babu.

Namun Bob segera sadar kalo dia adalah pemberi service dan berkewajiban memberi pelayanan yang baik, sejak saat itulah dia mengalami titik balik dalam sikap hidupnya dari seorang feodal menjadi servant, yang ia anggap sebagai modal kekuatan yang luar biasa yang pernah ia miliki.

Usaha Bob pun berkembang menjadi supermarket, kemudian dia pun juga menjual garam,merica, sehingga menjadi makanan.Om Bob pun akhirnya merambah ke agribisnis khususnya holtikultura, mengelola kebun-kebun yang banyak berisi sayur mayur konsumsi orang-orang Jepang dan Eropa dia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah untuk memenuhi.

Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diimbangi kegagalan, perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira orang, dia sering berjumpalitan dan jungkir balik dalam usahanya. Baginya uang adalah nomer sekian, yang penting adalah kemauan, komitmen tinggi, dan selalu bisa menemukan dan berani mengambil peluang.

Bob berkesimpulan bahwa saat melaksanakan sesuatu pikiran kita berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, apa yang ada pada diri kita adalah pengembangan dari apa yang telah kita lakukan. Dunia ini terlampau indah untuk dirusak, hanya untuk kekecewaan karena seseorang tidak ,mencapai sesuatu yang sudah direncanakan.Kelemahan banyak orang adalah terlalu banyak mikir membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah, yang penting adalah action. Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan, setelah mengalami jatuh bangun, akhirnya Bob trampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman yang selalu dimulai dari ilmu dulu, baru praktek lalu menjadi terampil dan professional.

Menurut pengamatan Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu berpikir dan bertindak serba canggih, bersikap arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.
Om Bob selalu luwes terhadap pelanggan dan mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan, sehingga dengan sikapnya tersebut Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelangan akan membawa kepuasan pribadinya untuk itu ia selalu berusaha melayani klien sebaik-baiknya.

Bob menganggap bahwa perusahaannya adalah keluarga, semua anggota keluarga Kem harus saling menghargai, tidak ada yang utama,semuanya punya fungsi dan kekuatan sendiri-sendiri.

Who Are the Entrepreneurs?


SUKSES, SUKSES DAN SUKSES

SUKSES ITU BIKIN “PEDE”

Sukses itu membuat kita percaya diri.

LOWONGAN untuk menjadi pengusaha, saya kira sampai kapan pun masih terbuka luas, tidak terbatas. Artinya, kapan saja, sekarang atau besok, kita bisa saja menjadi pengusaha. Bahkan, kalau kita ingin cepat menjadi pengusaha, bisa juga kita lakukan hari ini. Misalnya, cukup kita datang ke notaris, buat CV atau PT, maka jadilah kita pengusaha sekaligus direktur di perusahaan kita sendiri. Dan, tak perlu ada upacara pengangkatan segala, sebab siapa lagi yang mengangkat kita kalau bukan kita sendiri.

Namun, coba saja kalau kita bekerja pada perusahaan milik orang lain, maka untuk bisa menjadi direktur membutuhkan waktu lama. Ini pun masih sangat tergantung pada keputusan atasan kita. Padahal, menurut saya, untuk menjadi pengusaha sekaligus direktur, tidak harus membutuhkan pengalaman kerja. Karena, pada dasarnya, lowongan kita untuk menjadi pengusaha itu tidak terbatas. Maka, semestinya kita harus “jadi” dulu. Itu setidaknya, dengan kita sudah menjadi direktur di perusahaan kita sendiri, merupakan langkah awal memulai bisnis. Dan, ternyata membuat bisnis itu lebih mudah daripada kita mencari pekerjaan. Sehingga, dari “sukses” itulah menjadikan diri kita tumbuh rasa percaya diri. Dan, setelah kita percaya diri, maka kita akan bisa melakukan sesuatu.

Banyak contoh di masyarakat, bahwa seseorang mendapatkan jabatan, baik itu di pemerintahan ataupun swasta, padahal dia tidak punya pengalaman sebelumnya. Dan ternyata, dia bisa juga melaksanakan pekerjaan itu dengan baik. Artinya. kepercayaan diri atau “pede” kita bertambah saat kita dapat kesuksesan. Meski, katakanlah bisnis yang kita dirikan itu hanya meraih sukses-sukses kecil. Namun, itu buktikanlah suatu masalah. Justru, hal ini akan membuat kita lebih termotivasi untuk bisa meraih sukses bisnis yang lebih besar.

Saya kira, kita memang sebaiknya jangan mengabaikan sukses-sukses kecil itu. Percayalah, bahwa sesungguhnya dari sukses-sukses kecil itu akan menjadi kesuksesan yang luar biasa pada bisnis kita dimasa depan.

Memang, bagi kita yang terbiasa berpikir linier, pasti akan mengatakan, bahwa percaya diri dulu baru kita sukses. Kalau kita setuju dengan pendapat, percaya diri dulu baru seseorang meraih sukses, lantas kapan kita bisa menjadi pengusaha?

SUKSES ITU GURU YANG JELEK

Kesukesan akan menjerumuskan kita,

kalau kita terlalu bangga.

ROBERT T. Kiyosaki dalam bukunya “Cash Flow Quadrant” berpendapat, bahwa sebenarnya sukses itu guru yang jelek. Tapi itu berlaku untuk diri kita sendiri. Artinya, sebagai entrepreneur, kita memang sebaiknya tidak berguru pada kesuksesan kita sendiri. Sebab, hal itu akan membuat kita menjadi kurang bersemangat, menjadi tidak kreatif, menjadikan kita lengah atau sombong, menjadikan kita lupa diri, bahkan tak menutup kemungkinan kesuksesan yang kita raih akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Sukses itu, menurut saya, bukan berarti “waktunya untuk menikmati”.

Memang, kesuksesan kita itu bisa menjerumuskan kita. Apalagi, kalau kita terlalu membanggakan kesuksesan itu, akan membuat kita lupa diri. Oleh karena itu, agar kesuksesan ini, tidak menjadi bumerang bagi kita sendiri, maka kita memang harus pandai-pandai mengelola kesuksesan itu. Namun, tentu saja, orang lain bisa saja belajar dari kesuksesan kita, itu boleh, bahkan, itu bisa menjadikan kesuksesan bisnis seseorang. Sebab, pada dasarnya belajar dari kesuksesan orang lain itu sah-sah saja. Pendeknya, kalau seseorang belajar kesuksesan orang lain, itu, memang bisa menjadi guru yang baik. Meski kita sebetulnya juga bisa belajar banyak pada orang yang gagal.

Dalam konteks inilah, menurut saya, agar bisnis kita tetap langgeng bahkan bisa berkembang lebih baik di masa mendatang, adakalanya kita harus menyadari hal ini. Atau lebih tepatnya, sebagai entrepreneur seharusnya lebih menilai, bahwa kegagalan itu sebetulnya sebagai pelajaran yang terbaik. Oleh karena itulah, saya kira kita sebaiknya janganlah terlalu takut dengan kegagalan. Kita belajar paling banyak tentang diri kita ketika kita gagal, jadi jangan takut gagal. Sebab, kegagalan itu sebenarnya adalah proses kita untuk menjadi sukses. Saya yakin, yang namanya entrepreneur itu sebetulnya tidak bisa sukses tanpa mengalami kegagalan.

Maka, pada saat kita ingin memulai bisnis atau disaat bisnis kita mulai berkembang, tapi kemudian tiba-tiba bangkrut atau mengalami kegagalan, saya kira hal itu janganlah membuat kita patah semangat. Justru, disaat itulah jiwa entrepreneur kita harus bangkit kembali. Sebab, menurut pengalaman saya dari rekan pengusaha lainnya, mereka baru sukses, setelah mereka pemah mengalami kegagalan paling tidak sampai tujuh kali. Kalau kita baru gagal dua atau tiga kali, saya kira itu wajar-­wajar saja bagi seorang entrepreneur. Mestinya, entrepreneur tidak akan pemah mendapatkan pelajaran tanpa melakukan langkah-langkah yang berarti. Baik itu langkah yang gagal maupun yang sukses. Langkah-langkahnya dimulai dari langkah kecil sampai langkah besar. Dengan perkataan lain, saya mengatakan, sebuah perjalanan 1000 km itu sebenarnya dimulai dari langkah kecil. Kalau kita tidak berani memulai atau mengembangkan bisnis, kapan kita akan punya bisnis, atau kapan bisnis kita berkembang. Saya menemukan kata-kata yang menarik buat kita renungkan bersama yaitu, “Memulai ini mengalahkan tidak memulai.” Artinya, orang yang berani memulai atau mengembangkan bisnis, itu lebih baik, daripada orang yang sama sekali tidak berani memulai atau mengembangkan bisnis.

REJEKI ITU BISA DIRENCANAKAN

Rejeki itu akan datang, sesuai pengambilan resiko bisnis kita

REJEKI itu sebenarnya sudah ada yang mengatur-Nya. Saya kira, itu memang benar. Dan, sebagian besar kita berpendapat demikian. Karena sejak lahir setiap orang itu membawa rejeki sendiri-sendiri. Tapi, apakah kita itu bisa meningkatkan rejeki kita sendiri? Dan, apakah kita tak bisa merencanakannya? Saya berpendapat, meski rejeki itu sudah ada yang mengatur-Nya, namun kita harus tetap aktif merencanakannya. Tanpa direncanakan, rejeki itu akan sulit kita raih. Saya kira, rejeki itu membutuhkan peluang untuk mendatanginya.

Menurut saya, mana mungkin rejeki itu datang kalau setiap harinya kita tak punya aktivitas apa-apa. Hanya pasrah saja. Dan, kita terlalu yakin, bahwa rejeki itu tak perlu dikejar, pasti akan datang sendiri. Saya tak sependapat dengan prinsip ini. Sebab, bagaimana pun juga kalau pada diri kita tak ada kegairahan bekerja, dan hanya selalu memimpikan rejeki itu datang, maka rejeki itu pun akan sulit datang atau justru malah menjauh. Tapi sebaliknya, jika kita tekun bekerja, dan kreatif berwirausaha, saya yakin, pasti rejeki akan datang. Bisnis kita pun akan lebih cepat berkembang.

Apalagi, kalau kita berani memilih profesi seperti pengusaha, dokter, notaris, pengacara, pelukis, seniman dan lain-lain. Profesi ini saya lihat sangat berpeluang mendatangkan rejeki yang relatif besar atau tidak linier. Sebab, profesi ini berbeda dengan orang yang digaji atau seperti karyawan. Artinya, jika saat ini kita misalnya, sedang menekuni dunia usaha atau sebagai pengusaha, maka jelas sangat memungkinkan sekali bagi kita untuk mendatangkan rejeki yang relalif besar. Sementara, kalau saja kita sekarang ini bekerja ikut orang lain atau setiap bulannya digaji tetap, maka jelas peluang akan datangnya rejeki yang relatif besar, menjadi kecil. Oleh karena itu, rejeki besar akan datangnya mencari tempat yang pas, dan ini bisa kita rencanakan. Tinggal, kita berani atau tidak. Bicara soal rejeki, saya jadi teringat pengalaman rekan saya. Dia seorang notaris. Saya lihat, dalam menjalankan profesinya, dia hanya menggunakan motor. Lantas, ganti mobil. Itu pun mobil lama. Namun, ketika saya sarankan agar dia “berani” ambil mobil baru secara kredit, dia terkejut. Apalagi, ketika saya sarankan mobil lamanya dijual saja. untuk bayar uang muka.

Setiap bulannya’ kan harus bayar angsuran? Itu pertanyaannya. Saya jawab, “Nah itulah rejeki akan mengikuti rencana anda. Kalau anda menggunakan mobil bagus pasti klien anda lebih percaya. Karena performance atau penampilan dibutuhkan dalam bisnis anda. Apalagi anda mau bekerja keras dan kreatif menjaring klien, saya yakin anda pasti mampu membayar angsurannya.” Rupanya, dia ikuti saran saya. Apa yang terjadi selanjutnya? Rejeki notaris itu ternyata mengalir deras. Kliennya akan bertambah. Selain bisa membayar angsuran, dia pun masih punya kelebihan rejeki itu. Dari, kepercayaan dirinya akan profesinya semakin mantap.

Kejadian ini, di antaranya yang membuat saya percaya, bahwa rejeki itu sesungguhnya akan datang mengikuti rencana hutang kita. Rejeki itu juga akan datang sesuai pengambilan risiko bisnis kita. Sehingga, pada saat kita ambil risiko bisnis yang kecil, rejeki yang mengalir pun juga kecil. Sebaliknya, bila kita berani ambil risiko yang besar, maka rejeki yang mengalir pun juga besar.babai

"BILL” WILLIAM H. GATES

"One thing I love about this [decade] is this is a period where the reality is driving the expectation."
Bill Gates, 2004
International Consumer Electronics Show Keynote
William Henry Gates III was born in 1955, the second child of three brothers in the social situation in Seattle, Washington. His father, a lawyer with the companies that have many connections in the city, and his mother a teacher, who is active in charity activities. Bill is an intelligent child, but she was too full of spirit and tend to often get difficulties in school. When she was eleven years old, her parents decided to make changes and send them to the Lakeside School, an elementary school special for a prestigious boys.
At Lakeside that Gates in 1968 for the first time introduced the world's computers, in the form of a teletype machine that connected to the phone to a computer time sharing. This machine, called the ASR-33, the situation is still the market. In the main engine is a type of them students can enter the command that is sent to the computer; diketikkan answers back to the teletype paper roll. The process of making this, but change the life of Gates. He was quick with the BASIC language pemograman computer, and hackers along with their own learning in Lakeside, he missed the pro-hours writing programs, doing games, and generally learn many things about computers. "He was a 'nerd' (eksentrik)," as one of his teachers to give Gates the surname.
Around 1975, when Gates with Paul Allen at the school with the first software program to prepare for the micro-computer. As the story in Popular Electronics about the "era of computers in the house" and they both believe is the future of software. This is the beginning of Microsoft. Communication is simple: Paul and Gates discuss coke and pizza. No one is seriously considering our opinions. Everything changed in the last two decades.
Gates still like junk food, but he also spent two hours a day to read and reply to electronic mail sent by 15,000 employees of Microsoft.
In addition, many emails from outside Microsoft.
Questions range from how people experience him (fun!), What movies I like (Schindler's List and Shadowlands), to complex questions that must first open the book to be able to answer them (and also just happens to write books!).
The problem, Gates took all day to answer email and berceramah or manage perusahaanya.
Gates tried to run both, but he does not have a lot to communicate with a diverse group and a lot of email that was not answered.
Gates happy to write this article because it makes it through to communicate with a diverse group without the need to teredit disjointed or strained by a perception.
Reality, not all questions submitted via email.
Sometimes people stop at the airport Gates or urgent to answer the questions on exhibitions or children's school computer to send a letter to him.
One student recently ask a question that it is important to him. Who want to know is not something that is very philosophical, as you may think for example about the free market economy.
He only wanted to know, "Gates is already late to the field of software industry and to build a company and become rich?".
Gates happy and get the answer to that question is always the same, "This is the time to the business of software."
Gates did not say you can build other Microsoft. But at least you can get the turnover selling two million dollars a year by selling 10,000 copies a product worth 200 U.S. dollars.
Quite sizeable and can occur at any time.
Because I remember pulling Gates launch a software company, he also enjoyed success story of other people.
Small software company that always start slowly.
Someone started a company that has the idea. He, the man or woman, looking for some friends who know how to program them and then menelorkan a product.
Many works of art that they do because their work is concerned with.
Usually they make a product for a customer and as a result satisfactory, they will soon get another buyer.
If you want to start a company, find the main strategies that fit the social environment.
Forget the desire to create a word processing program to write, or a spreadsheet program to analyze financial, or other major product is already a lot of saingannya.
Instead, create a product that can help users do the specific job or be able to give practical information in areas such as pharmaceuticals, insurance, accounting, architecture, or the field of government.
Software such as the fortune that will bring small-scale.
If you are not satisfied with the fortune of a small scale, you should be on stage until the transition generation. This expensive and risky.
Every few years a generation of technology provides a new way. Remember the emergence of IBM PC in the early 1980s.
Microsoft bet IBM PC will become important. Then, create a Microsoft operating system MS-DOS for IBM PC.
The result is a pioneer in the Microsoft operating system software.
No one ever heard about Lotus to carry out a brilliant mind to create change in generation Lotus 1-2-3 spreadsheet first designed specifically for the IBM PC.
Apple's Macintosh and Microsoft Windows is the winner of next, when the world wanted to leave the processing and graphics programs that only display text.
To get a big victory, you must also concentrate on generation change, something that large companies are ignored. And once taruhannya expensive.
Recently, a number of wiraswastawan speculate that the software can be used with the computer how to write by hand - not the more pressing in the case - will be a new generation of word processing software is a spreadsheet.
They start to create new products that they think will win the competition. They were wrong. A big gamble. What should I recommend to a student who wants to be wiraswastawan software?
Learn a string of companies already have.
Find your own social environment.
Berhubunganlah with Venture Capital.
Discover the smart people.
And do not forget pizza and coke.
Trust, there will be a lot of work in the late evening.

Aristoteles Onassis


Aristoteles Onassis was born on 20 January 1906 in Simyrna, a Greek city in the prosperous West coast of Turkey. Tenth among the rich we are, Aristotle Onassis has extraordinary wealth, which is counted in billions, not millions. Eminency name still more with the full flush relationship with Maria Callas, the famous opera singer, and then with Jacquiline Bouvier Kennedy. And as often, stories that overdone or half-myth has been circulating about him, especially on home-usulnya simple. Perhaps, he was born from a poor family, whose lives are always shortages. I wonder, is his father's home-made higgler merchandise from door to door, and her mother's maid household. Onassis did not try to align the many opinions about the lalunya, at least in the general, because of stories like that are usually even add a brilliant aura of mystery beset him. He realized the importance of self-image of someone in achieving success, a matter we will discuss later.
In fact, the father Onassis was a wholesale trader and have a street name because he has also served president of the bank and a local hospital. But not Onassis heir in his father's wealth, and he became rich because of the wealth of his family. As we will see, he went to the United States when the controversy as the family he was 17 years old. He brought $ 450 in stock sakunya, that is only $ 250 is the money from his family. With his father, reluctant to give money as it is the new time will be provided in separate, because he does not agree with kepergiannya. Father and son has not ever been familiar, a matter between the odd Greek family in the country. Onassis's father who grew up in an agriculture with great difficulty collecting wealth.
Wataknya very disciplined and hard. Although always aware of the sense of responsibility, he is not one that can be called a warm and interesting.
Onassis soon rebelled against every form of discipline. Children up to teenagers since it was a lot of commotion and geger, thorn in his father's eyes. Their relationship grows more complicated because a reality another. His mother, Penelope, died when Onassis new six-year-old. Only 18 months after his father married again with a woman named Helen. Onassis looked as tirinya mother who smuggle people, and therefore women do not get this place in his heart the least.
In school, he was stupid and things like search, follow the examples of many rich people. Not strange if he expelled from several schools. He is most often occupied terbawah ranking in the class. One teacher said:
Friends, classmates idolize him, but because teachers and their families in despair. While he was still young, people can easily see that he will become one among those who will destroy themselves or at all successful in-gilang brilliant.
Although Ari raport in schools far from good, bakatnya to trade and the money has been visible since early. Perhaps the following can explain anekdot. One of the friends who have designed a small windmill, a simple toy that consists of the rotor berpasak paper ditancapkan the needle on the piece of wood. Proud of achievement, the child is with some fruit and try to sell it.
"How are you selling this kitiranmu?" Tanya Onassis. "Eh ... I do not know. What if the price of needles.
"Basic stupid!" Onasiss rage. "You have a needle that you're selling one hand, to screw, to wood, have not you count the time that you need to do so."
Friends Onassis infer: "This is my first lesson about the meaning of profit." At that time not by the thought that he is listening to a lesson from the champion money future. Another depicts a story of talent in the business Onasis youth. One day, a fire occurred in a warehouse in the city where the school birth. Onasiss buy seonggok pinsil former fire with cheap price. He instil a little capital to buy the two ala peruncing pinsil. He, with friends, start to clean the parts pinsil the burn. Then he sells pinsil-pinsil it back to friends at school with a very cheap price, but still large enough to provide happiness. This example may be a normal-normal, but would work like this is big business soon Onassis. He was ship-repair the damaged ship and make it feasible to sea, and sell at the price that is much higher, of course. In schools, time is running continuously, but it does not look up Onassis. Year 1922 began not fun. Many sekelasnya friend went to the science in universities in the greater Europe. But Onassis itself does not pass. The future looks bleak for him. Several days after the certificate handover ceremony, one of his friends see Onassis run without a goal in the garden city. He tried to reassure the hearts Onassis.
"Do not worry, Aristotle, see you later, all will be OK. You try again next year. You must be passed. "Foolish," answered Onassis. "You think I'll just stay here forever? The world is narrow. I need not be competent. One day you will wonder what I will do. "Time to prove that the waffle Onasis is not mere jokes.
In the year 1922, Turkish invasion cause dark shadows on the bloom of fire Onassis. Smyrnba occupied and be out of town without pity you. Onassis's father, a popular figure who, imprisoned and Ari become household head at the age of 16 years. This is a difficult period for him. And in this he kehebatannya apply as diplomats and their ability to survive in any situation. That this difficult period is exactly the right experience to form wataknya. Smyrna elapsed after the catastrophe, Ari Ari is the other's past. Dialaminya all things that have never disappeared from ingatannya; memories-memories is accompanied by an awareness of the ability to survive. He has been bet up and win. Dewi Fortuna on the side of the brave and he pusatkan vision about the world on knowledge.
Onasis that cite the benefits of doing business for the Turkish occupation. He bootleg liquor to the Turkish Army, with the intent of the general conquer that would liberate his father, who I also have to be confined in prison for a year.
Onassis success is highly dependent on the personal magnetism and ability to link with the public. Sebayanya Some people call him a chameleon. Indeed it mean to adjust with all the people who dijumpainya. In general, if we make what becomes easier for other people, they will be sympathetic to us, so the opinions Onassis.Pernah Onassis confessed to one of Winston Churchill kenalannya that sit high, which at that time are to be guests at the top, Christina ship , on the personality theory of "historical imperative" that are in the difficult period. Experience has taught him that if the natural environment provides a suitable and abundant food, it does not have a lot less energy and initiative. Conversely, those who urged wedged "week" and must fight to survive still, in difficult circumstances may be more able to adapt with the situation. Thus he will remain successful while other people die because of a design to survive. Thus, according to Onassis, hardship and misery often encourage people to find their own resources, that is not the previously suspected, and thus make progress with her smash barriers and personal limitations. Onassis life story is an excellent illustration of that principle. Socrates, the father Onassis, did not want to acknowledge the services their children in the dimainkannya role during the occupation, and not let him continue his role as a responsible family. Onassis is very sick because of this treatment and his father, according to pengakuannya, until many months after it was often a feeling of anger without power. His father's attitude is not grateful and tearful removed from their families to try to motivate the decision keberuntungannya in South America. Firstly, of course, he thought to go to the United States, but not easy to get a visa. Onassis Argentina to divert attention: she heard the news that the Greek people have become rich there.
Onassis landed in Buenos Aires on 21 September 1923. Default and an old suitcase of money as $ 450. But in himself he brings a more valuable stock: push hard to prove to his father that he was able to become rich without the help his father. The confidence this will be brought along hayatnya.
No diploma, no job, money and people have a connection, Onassis had to start by doing various menial jobs. He was a bricklayer kenek, coolie carrier brick on a building project, carpenters washing dishes in restaurants, and eventually become instalator electrical apprentice in the River Plate United Telepchone Co. For someone with ego as he is healthy, this is not a reasonable achievement.
Several months after starting this job, Onassis moved to ask the night shift, with the pretext that he had to do some things in the afternoon. With a large ambisinya, Onassis did not intend to spend more time to learn menyolder cable.
At that time, the famous Greek tobacco, even tobacco is classified among the most well-tobacco by experts. However, due to the importing and the provision of, goods to be this difficult to obtain. Onassis writing to his father requested shipment. Socrates agree and ship the first shipment as a sample. At first the result is not brisk. Onassis brought sampelnya to several factories, and requested that he be contacted.
Several weeks passed without any news. Onassis now understand that should not be a waste of time with the factories to the small, but must come to all the great. For that he must meet Juan Gaona, to one of the largest tobacco firm in Argentina. During 15 days in a row, Onassis look lean on the wall of building Gaona, to come and observe the perginya boss. Finally Gaona also feel tempted by this behavior of young people, and he was invited to the office Onassis. Onassis submit bids well. Gaona apparently impressed and Onassis is facing managers of stock. By using the name Gaona, Onassis successfully encouraging sign that contract for the purchase of tobacco for $ 10,000 with the usual commission of five percent. Later, Onassis often stated that the commission money of $ 500 is a large stone pillar kekayaannya. He does not use that money for nothing, but menabungnya in the bank to keep the alert, ready like an umbrella before it rains. With the sikapnya sparingly and wisely, Onassis sufficient life with the results of the company in obtaining the phone, and all the money remaining stored, so that he can go to the business world without borrowing money to anyone.
Onassis is sometimes forced to wait for payment while the debtor's customers. But he rarely borrow more than $ 3000 and always melunasinya as soon as possible. Soon, of course, once you use the money of Others (UOL), a matter we will discuss later, Onassis will sign a contract until the loan of several million dollars, with repayment schedules after a few years. However, the main principle is the one when people start a business debt is to return as soon as possible. Onassis build some confidence in the bank to him, a matter which he will need in the very years.
After working on night shift for a year, Onassis're out of United Telephone, the states that have an idea that will diikutinya. Dream is to create a new cigarette factory. For that he had capital of $ 25,000 savings with additional loans from the bank as well. Trust banks have started to show benefits. He employs 30 people Greek immigrants. Business quickly grow large but does not provide benefits that diharapkanya. Onassis immediately close the business. Wirausahanya the first failed. Onassis did not lose heart. Even vice versa. He is persistent. The import business is still running tembakaunya with sizable profits.
During the summer of 1929, the Greek government raised taxes in some areas, including tobacco. Onassis decided to use this opportunity to return to Greece to try to approach the authorities. At first the Minister accept that he considers kukunya own demand rather than listening to the young traders. Finally he cut the words Onassis and suddenly just want to stop talking it.
Onasis is. He said:
Thank you. If we meet sometime again, I hope you will be more interested in my bid. I think you have a lot of work, but it seems clutches your finger is quite busy. You hand it seems more important than our country's export.
Words onassis was hit. The Minister looks impressed, and he began to talk seriously with Onassis. After that, negotiations between Greece and Argentina in the open again.
End of the year 1922 marks a major decision for the life of Onassis. Failure as the first ship owner does not make it back to keep the money in the embed that. He is infatuated akan shipping. It was moved by inner confidence that only ships that will take him to the ladder of success. So, all dikumpulkannya own money, which was already sizable, and go to London. It was a new age of 26 years. He has been known for a reputation as a bold entrepreneur, especially after penunjukannya as Greek Consul General in Buenos Aires. However, the diplomatic impound lot is not the time.
Market, which suffered heavily due to the fall of Wall Street capital markets in 1929, provide good opportunities for the investors. Ships become cheaper, far below the original price. The most good is to buy ships aged 10 annual. Nine-ton ship of the original price $ 1,000,000, is now only sold $ 20,000 in demand, roughly the price of a Rolls-Royce. What the Onassis while still a child now will be repeated, but the goods are bekasnya ship.
Although the business is now in London. Onassis purchased its first ship, the two old ships, each worth $ 20,000, in Montreal. Both ships are named Miller and Spinner, changed its name to Socrates Onassis and the Onassis Penelope, as a tribute to both parents. To get hit in the shipping business, consider pentinglah tide cargo costs and make the right decision. Onassis able in this case.
More than that, he was optimistic that never move back. With keberaniannya and adventurous nature, he soon prominent among the Greek ship-owners who have a certain in London, because they do not like, he does not have any thoughts about the economic crisis. They are, he does not instill fear of the money.
Hustle and diplomacy default quickly take him to the high class society. Should not be overlooked, one of the roads in pelicin to kenaikannya elite class is a relationship with one woman simpanannya the first, from the beautiful Dedichen Norway Ingeborg, daughter of a famous ship owner.
Nature that makes it easy road Onassis is the ability to listen to people. Indeed, speech fluency and flexibility play an important role in encouraging and pushing people to accept our ideas and our own. But not banyaklah people who know how to properly listen to other people. Most rich people in this book have been learning skills, so they do not always understand just what is known opponent by talking, but also to adjust with them. Thus, in order to able to influence people and get a guarantee that they will help in the journey to success, people must start with people who know the faces. Onassis was a specialist in listening skills. Lord Moran, who wrote the book The Great Onassis, perhaps because he himself does not use this skill, tidk breathe Onassis ability to listen to other people. In fact all the people associated with the Onassis impressed by this excess. When they are faced with Onassis, he gives the impression that they are the most important man in the world.
Because of this ability, Onassis actually can be a good political experts. This talent is used properly by Onassis, as witnessed by the beauty of Norway in catatannya:
A young man full of charm that can adapt to any situation that this mimics the opponent to be talking with so perfect. While there are people who interpret this as a sleight ingenuity, as other people call this hypocrisy and consider membunglon sheer brilliance. But I believe in listening proficiency is a way to give special attention to the sincere people and the world. Accidental, Onassis during her life has no sense of thirst who will take pride of knowledge in addition to a strong power ingatnya. He had power of concentration that has been highly developed.
The ability to listen to other people is one of the vital characteristics of every good salesman. That is why Onassis was a salesman of extremes. Walter Saunders, who is clearly not a simple-minded because he was a tax adviser for metropolitan Life, describes the kesannya Greek ship owners about this:
There is a feeling in myself that the person who is able to enthusiastically sell cooling equipment to the Eskimo. But I also have a role that every detail has been prepared completely in advance. Most people who met with the Onassis feel the influence of power persuasifnya and Onassis did not feel that berimprovisasi in the steps, but already know everything in the file catatannya to detail-details.
At the year 1947, Onassis pass the threshold in a brilliant career. For the first time in his life he will begin to systematically apply the principle known as OPM (Other People's Money, Money Others UOL), by borrowing from the Metropolitan Life Insurance Company of $ 40 million to build new ships. As a strategy it uses an oil company as a partner. Onassis will carry oil and their contract will remain valid until the utmost limit of debt. Because the oil companies at that time very terandalkan, borrowing the name of the company was very easy. In a certain sense, the body's financial lend money to oil companies, not to Onassis. Onassis often remember that time with berbangga themselves. Say that the rich oil companies in connection with the ships Onassis is like a tenant with a house with dihuninya pay rent. If the rent is a Rockefeller, not be a problem if the roof leaks or bergenting gold. If Rockefeller menyanggupi pay the money it cost, who are willing to lend money to take the house. The situation is also valid for ships Onasssis.
This principle is now very commonplace. This is the basic principle of all investment real-estate development. When a borrow money for building a business, the banks actually lend money to the building tenants. They will return the money, except the building is owned by an investor. This principle is at the time of Onassis quite revolutionary, and keorisinal ideas Onassis praiseworthy because most boat owners Yunnai at that time hold on the principle: How can the ship, pay cash.
Although he was far innovators he does not use the methods of the competitors, it is not the inventor OPM, although he may claim so. This concept is born from the brain of Daniel Ludwig, a rich American businessman. He had begun to infuse money in the ship armadanya even far more superior than the property Onassis and then switch to the real estate business. Already since 1930-an Ludwig develop what soon became common practice everywhere. Ideas that appear in benaknya after a request to reject the Bank borrows the money will be use to buy ships and a tanker merombaknya. Onassis died on 15 March 1975, but in the end he hayatnya to ask one of akuntannya whether he can say the size of the benefits that it has quickly rounding the number to ten dollars.

Senin, 27 April 2009

BAMBANG NURYATNO RACHMADI


Suatu malam penghujung 1989, di sebuah restoran McDonald’s di kawasan Orchard Road Singapura, seorang lelaki bertubuh subur sedang membersihkan meja. Dengan seragam T-shirt bergaris-garis merah yang agak kesempatan dan topi berlabel M khas McDonald’s, lelaki yang tak lain adalah Bambang Rachmadi, mantan presdir Panin Bank tadi tampak serius bekerja. Jatuh miskinkah ia ? Bisa jadi. Karena setelah mengundurkan diri dari kursi puncak Panin Bank pada November 1988, nama Bambang nyaris tenggelam. Tak terdengar lagi apa kegiatannya kemudian. Bila setahun kemudian banyak pengusaha Indonesia melihatnya tiba-tiba menjadi pekerja kasar di jaringan fast-food terbesar di dunia itu, orang pun bertanya-tanya. Repotnya, Bambang pun tak bisa menjelaskan apa yang sedang ia lakukan. “Soalnya saya mesti jaga rahasia. Saya nggak ingin pers Indonesia tahu sehingga membuat MD batal memberikan lisensinya kepada saya,” ucap menantu Wapres (ketika itu) Sudharmono, yang kini managing director PT Ramako Gerbangmas, pemilik dan pengelola jaringan restoran McDonald’s Indonesia. Kehati-hatian Tonny, sapaan akrab Bambang tampaknya memang wajar. Karena MD adalah satu-satunya taruhan Tonny setelah keluar dari Panin. Apalagi, ia harus menunggu satu tahun setelah memasukkan aplikasi hanya untuk bisa dipanggil mengikuti pelatihan. Dan pelatihan di Singapura yang disebut On the Job Experience (OJE) itu, bukanlah lampu hijau untuk memperoleh lisensi MD. OJE adalah semacam tes awal bagi pelamar. Tapi itulah tes yang paling berat. Karena dalam latihan kerja pelayan, seperti melap meja, membersihkan toilet serta menjadi tukang parkir, inilah para pelamar banyak yang gugur.
Pada Februari 1991, restoran MD milik Tonny resmi dibuka di Gedung Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta. Dibukanya outlet MD pertama di Indonesia itu sekaligus menjawab pertanyaan tentang menghilangnya Tonny selama 2,5 tahun dari dunia bisnis Indonesia. Restoran itu juga merupakan buah dari perjuangan Tonny selama hampir tiga tahun. Dia adalah salah satu dari 13 orang Indonesia yang melamar ke MD selama 10 tahun ini. Dan untuk menang, kali ini ia harus bersaing dengan 39 kandidat. Ide menjadi wirausaha bermula ketika ia mulai “bosan” menjadi pucuk pimpinan di bank milik Mu’min Ali Gunawan. Padahal sebagai bankir – ia diangkat menjadi presdir Panin Bank pada usia 35 tahun – karier Tonny tergolong pesat. Sejak 1971 hingga 1974, sembari menyelesaikan kuliahnya di FHUI Extension, kelahiran Jakarta 41 tahun silam ini bekerja di PT Cicero Indonesia. Setahun kemudian ia hijrah ke Bank Duta. Dari bank tersebut ia peroleh kesempatan belajar ke Negeri Paman Sam. Hasilnya pada 1978 ia berhasil menyabet dua gelar: MSc bidang internasional banking & finance dari Saint Mary’s Graduate School of Business Moraga, dan gelar MBA dari John F. Kennedy University Orinda – keduanya di California. Dengan dua gelar itu, Tonny kembali ke tanah air dan kembali ke Bank Duta pada 1978. Setelah sempat manajer divisi operasi di kantor pusat, ia kemudian dikirim ke Surabaya sebagai branch manager pada awal 1979. Setahun kemudian ia dipromosikan menjadi kepala divisi pemasaran. Dia meninggalkan posisinya di Bank Duta sebagai managing director International Banking pada September 1986 untuk bergabung dengan Panin Bank. Sebagai orang nomor satu di Panin Bank, ketika itu Tonny sempat melakukan beberapa pembenahan; manakala kondisi Panin dikabarkan lagi tertimpa malapetaka. Menurut harian The Asian Wall Street Journal, Bank Indonesia sampai menggolongkan Panin dalam klasifikasi tidak sehat. Di tangan Tonny, perlahan-lahan bank ini mulai melesat lagi. “Tapi yang lebih penting, bank ini sekarang sudah dinyatakan sehat oleh BI,” ucap Tonny suatu ketika. Kendati boleh dibilang Tonny cukup berhasil dalam mengemudikan Panin Bank, toh kursi presdir malah membuatnya gerah. “Salah satu yang mengganngu pikiran saya adalah karier saya di bank,” ucap Tonny dengan lirih. Lho? Sebagai orang muda, ia merasa kariernya di perbankan sudah mentok. Alasan yang lebih klasik lagi adalah sudah tak ada tantangan. Dan ia ingin mencari tantangan di lahan yang lain. Apalagi, selama menjadi bankir, Tonny lebih banyak berperan sebagai penasihat bagi kalangan usaha. “Saya tergugah untuk membuktikan diri sebagai pemain,” ucap lelaki yang bergabung dengan Panin Bank selama dua tahun itu. Tekadnya menjadi pengusaha sudah bulat. “Saya ingin jadi pengusaha yang sukses,” katanya penuh semangat. Sebelum mengundurkan diri dari Panin, ia telah melakukan survei tentang beberapa bidang usaha yang potensi perkembangannya cukup bagus. Walau dalam benaknya terlintas beberapa bidang usaha, toh industri makananlah, menurut dia, yang paling pas baginya. Dan McDonald’s adalah partner yang ia pilih. Alasannya, selama ini restoran MD cukup bagus, dan hampir semua outlet-nya sukses. “Saya berketetapan harus bisa memperoleh lisensi MD,” ucap bapak tiga anak yang rambutnya sudah dua warna itu. Memperoleh lisensi MD adalah tantangan yang tak mudah. Paling tidak terlihat dari daftar pelamar dari Indonesia selama 10 tahun terakhir ini, ada 13 ribu orang, dan belum ada satu pun yang berhasil. Dan yang lebih berat, konon, MD tak menginginkan mitra kerja yang tidak memberikan komitmen 100%. Itulah sebabnya pada bulan September 1988 ia memilih mengundurkan diri dari Panin, hanya dengan satu cita-cita: memperoleh lisensi MD. Pada saat itu memang terkesan Tonny mempertaruhkan seluruh kariernya yang hampir 14 tahun di dunia perbankan. Padahal, keinginannya untuk menjadi pemegang lisensi MD Indonesia belum tentu tercapai. “Kalau waktu itu saya nggak dapat MD, ya saya harus siap mulai lagi,” kenangnya. Setelah bebas dari Panin, ia mulai mengurus permohonannya ke MD. Setelah itu? “Hari-hari penantian yang menegangkan,” ucap Tonny bersemangat. Tentu saja menegangkan, karena ia harus menanti satu tahun sampai diperbolehkan mengikuti pelatihan. Menanti sesuatu yang belum pasti sangat menegangkan bagi Tonny. Karena itu ia selalu berusaha berkomunikasi dengan MD Pusat. “Paling tidak seminggu sekali saya berusaha menelepon mereka sekedar just to say hello,” ucap lelaki yang pernah diusir dan diperlakukan kasar ketika mencoba mengunjungi MD Pusat ini. Tersinggung? Tidak. Sebab dia sadar betul bahwa semua yang ia lakukan dengan satu tujuan, “Saya harus menunjukkkan bahwa saya sangat menginginkan.” Menurut Tonny, MD adalah pemberi lisensi yang cukup ketat dalam menyeleksi calon mitra kerjanya. Konon, sebelum memilih Tonny, pihak MD ingin mengenal secara dekat keluarga besar Tonny. “Mereka ingin tahu bagaimana latar belakang dan kehidupan keluarga kami,” jelasnya. Karena, MD menginginkan bisnis ini bisa diteruskan oleh anak-anak Tonny. Bahkan, dalam salah satu kontrak yang harus disepakati – setelah lisensi diberikan – MD mesti mengetahui segala persoalan yang terjadi dalam manajemen PT Ramako Gerbangmas (RG), sekalipun mereka tak memiliki saham di situ. Hal ini disyaratkan, karena pihak MD tak menginginkan kalau tiba-tiba saja saham RG berpindah tangan ke pihak lain yang juga memiliki bisnis fast food merek lain, misalnya. MD juga mensyaratkan bahwa pemilik saham mayoritas RG harus juga pemegang kendali bisnisnya. Maksudnya, supaya orang yang mengambil keputusan di bisnis ini nantinya adalah orang yang benar-benar menguasai bidangnya. Maka, sejak awal pihak MD telah menanyakan kepada Tonny maupun istrinya tentang siapa yang akan menjadi Mr. Atau Miss McDonald’s. Begitulah. Setelah satu tahun menegangkan, datanglah keputusan bahwa ia boleh mengikuti pelatihan. Tempat pelatihan pertama sengaja dipilih di Singapura. “Karena di sana banyak orang Indonesia. Sehingga pressure-nya lebih tinggi,” kata lelaki yang gemar naik motor gede ini. Dan benar, selama tiga bulan pertama pelatihan – di mana Tonny harus berseragam pelayan – ia selalu bertemu kenalannya dari Indonesia. Selain pelatihan yang bentuknya non manajerial, Tonny juga diuji bekerja selama 18 jam nonstop. Dari situ akan terlihat seseorang memiliki bakat melayani atau tidak. Karena, pada jam-jam pertama barangkali orang masih bisa bersikap manis. Tapi bila telah masuk jam ke-8 dan seterusnya, maka tingkat kelelahan dan stresnya sudah tinggi, hilanglah sikap manis. “Biasanya banyak yang nggak lulus di sini,” ucap Tonny, lalu tertawa. Dalam pelatihan, Tonny yang sebelumnya tak pernah mengepel lantai, apalagi membersihkan kamar mandi, terpaksa melakukan semua pekerjaan – yang dalam istilah Tonny: pekerjaan tanpa otak – itu dengan hati lapang. Walau sering kali ia harus menerima bentakan dan mengulangi hasil kerjanya lantaran dinilai kurang bersih, misalnya. Hasilnya memang memuaskan. Dia berhasil meninggalkan 39 pelamar dan mengalahkan tiga kandidat. Dari pelatihan “kuli” tadi, baru Tonny digodok di Sekolah milik McDonald’s yaitu: McDonalds Corporation Hamburger University selama 1 tahun. Sekolah itu mendidik para calon store manager MD. Sistem pelatihan yang pernah dialaminya kini ia terapkan bagi semua calon manajer di MD Indonesia. Setiap manajer yang ada di MD adalah orang yang telah dilatih dari bawah. “Jadi nggak mungkin seseorang masuk langsung jadi store manager,” ucap pengusaha yang suka berbusana seadanya ini. Muti Soetoyo adalah salah seorang manajer yang sempat merasakan pelatihan gaya MD. Kelahiran Jakarta 27 tahun silam ini, termasuk karyawan pertama MD yang di-training. Lulusan IKIP Jakarta 1988 itu bergabung dengan PT RG Juli 1990, lalu dikirim ke Singapura untuk mengikuti program pelatihan. Sebelum diterima menjadi karyawan, lajang berpostur sedang ini diperkenalkan dengan program OJE. Dalam program ini ia diberi kesempatan mengenal pekerjaan crew dalam beberapa shift. Dari “latihan” tiga hari itulah diputuskan apakah ia bisa diterima atau tidak, untuk kemudian diperkenalkan mengikuti pelatihan selanjutnya selama lima bulan. “Saya dulu nggak pernah membayangkan kalau training-nya seperti itu,” ucap Muti, first assistant store manager di MD Sarinah, Jakarta, sejak Juni lalu. Ternyata kini Muti justru sangat menikmati pekerjaannya. Bahkan, tak jarang ia harus stand by di kantor sampai pagi hanya untuk menunggu mesin yang sedang direparasi misalnya. Ketika digodok untuk menjadi training manager ™ Muti harus melalui tahap pelatihan pelayanan. Setelah lulus, Muti ditempatkan di salah satu outlet MD di Singapura. Dan pada saat MD Jakarta dibuka, single yang hingga kini masih kuliah di FEUI ini telah menjadi second assistant store manager. Selain Muti, masih banyak Muti-Muti lain yang telah tersebar menjadi manajer-manajer di lima outlet MD. Dan selama ini proses pendidikan terus berlangsung.Apalagi, untuk tahun 1992 Tonny menargetkan akan membuka 10 cabang di seluruh Nusantara. Hasil kerja keras Tonny selama 2,5 tahun diuji MD memang cukup menakjubkan. Setidaknya, itu terlihat ketika restoran pertama MD dibuka di Sarinah Jakarta. Begitu menggebrak pasar, Tonny mengklaim bahwa setiap hari rata-rata terjadi 4 ribu transaksi. Bahkan, majalah Fortune edisi Oktober 1991 meramalkan penjualan outlet Tonny akan menempati posisi teratas dari 12 ribu restoran MD di seluruh dunia. Setelah menjadi wirausaha dengan anak buah yang hampir 1.000 orang, masihkan ia berpikir untuk jadi bankir lagi? “Saat ini sih nggak,” ucapnya serius. Tampaknya, saat ini Tonny lebih suka berkonsentrasi mengembangkan kewirausahaannya ketimbang kembali jadi profesional. Tapi, akhirnya Tonny tergoda juga untuk masuk ke bank lagi. Itu terjadi ketika ia mengambil oper 73% saham Bank IFI pada tahun 1995. “Sebagai pemegang saham, di Bank IFI saya hanya menjadi komisaris. Saya tetap memegang MD. Komitmen saya penuh pada MD,” kata Tonny. Ya, Tonny tentu tidak akan “nekat” menjadi pengelola bank lagi. Dengan 42 outlet yang dimilikinya pada pertengahan 1996, MD memberikan arus kas yang luas biasa bagi Tonny. Transaksi MD selalu tunai. Siapa yang sudi melepas mesin kas seperti itu ? Dengan memiliki usaha sendiri minimal Tonny terbebas dari keharusan berpakaian rapi, berdasi dan wangi. Kini Tonny sudah terbiasa mengenakaan pakaian santai, mengendarai Harley Davidson untuk memonitor Kelima outlet yang tersebar di Jakarta. Hadirnya MD di Indonesia, ternyata tak cuma menambah “gemuk” Tonny – yang nyaris menamai kegendutan mascot MD – saja. “Berat badan saya 70 kg,” ucapnya dengan mimik serius. “Itu nggak pakai tangan, kaki dan kepala. Ha…ha…ha…,” sambil tertawa berderai. Yang jelas, Sarinah, gedung pertokoan bertingkat pertama di Jakarta ini juga terimbas kesuksesan MD. Sejak kebakaran pada awal 1980-an Sarinah nyaris hilang dari peredaran. Apalagi munculnya pusat-pusat perbelanjaan yang lain, semakin menenggelamkan nama Sarinah. Namun setelah MD mangkal di situ Sarinah menjadi marak kembali. Itulah Tonny, dia adalah satu diantara segelintir profesional yang berani mengambil resiko. Melepaskan atribut keprofesionalannya, kemudian memulai dari nol untuk menjadi seorang wirausaha. Dan berhasil ! Kini dia peroleh nama baru : Mr. McDonald’s.

ARIFIN PANIGORO


Sebelum Orde Baru tumbang tahun 1998, nama Arifin Panigoro hanya dikenal kalangan terbatas sebagai pengusaha di bidang perminyakan. Lingkaran pergaulannya lebih banyak dengan Pertamina dan pengusaha perminyakan internasional. Namun, ketika reformasi tengah “hamil tua” yang ditandai dengan maraknya aksi demonstrasi mahasiswa, kesadaran politik Arifin bangkit. Ia telah menjadi simbol kebangkitan politik pengusaha. Tidak hanya itu, ia turut serta secara aktif membantu pergerakan mahasiswa, termasuk menyiapkan nasi bungkus untuk dikirim kepada mahasiswa yang tengah menggelar aksi di Gedung DPR Senayan, Jakarta.
Alumni Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973 ini memulai usahanya tidak langsung menjadi bos di Meta Epsi Drilling Company (Medco). Sebelum tahun 1980-an, awalnya ia cuma sebagai kontraktor instalasi listrik door to door. Selanjutnya memulai proyek pemasangan pipa secara kecil-kecilan. Begitu ada proyek yang berdiameter besar, hal itu bukan porsi pengusaha lokal, melainkan pengusaha asing. Jadi, setiap Pertamina melakukan tender untuk pemasangan pipa besar, maka perusahaan asing yang menang karena untuk pipaline butuh peralatan berat. Peralatan itu umumnya hanya dimiliki oleh perusahaan asing.
Kondisi itu membuatnya berpikir, sebaiknya pengusaha lokal pun diberi kesempatan atau dibantu untuk bisa menangani pemasangan pipa besar dan tidak hanya diberi pekerjaan yang kecil-kecil. Tahun 1981 ia memberanikan diri untuk mulai masuk proyek pipanisasi yang berdiameter besar. Untuk pekerjaan itu, ia bekerja sama dengan perusahaan asing. Deal-nya, bila satu proyek selesai, bagi hasilnya adalah peralatan itu. Mitra setuju, proyek pun selesai. Sejak itu dengan alat tersebut ia mencari proyek ke mana-mana.
Selain menggandeng mitra asing, dukungan dan proteksi dari pemerintah amat diperlukan. Tidak mungkin pengusaha lokal yang baru berdiri dan tidak memiliki pengalaman dapat tiba-tiba bersaing dengan perusahaan asing yang berpengalaman di bidang perminyakan selama puluhan tahun. Menggandeng mitra luar dan dukungan pemerintah itu merupakan cara pengusaha lokal bisa membuka pintu ke bidang bisnis yang lebih luas. Dengan begitu, persaingan dengan perusahaan asing bisa dilakukan.
Semuanya dimulai dari tahapan membiasakan pengusaha lokal mengerjakan proyek besar. Contoh yang dialaminya dengan bendera usaha Medco tejadi pada tahun 1979-1980 ketika terjadi oil boom, Sekretariat Negara mengambil inisiatif untuk membangun kilang minyak karena ada tambahan anggaran. Pada saat itu, pemerintah berkeinginan untuk menyelipkan unsur pembinaan bagi pengusaha lokal, termasuk Medco. Saat itu, dalam pembangunan Kilang Cilacap, Medco dikawinkan dengan satu perusahaan asal Amerika Serikat. Akhirnya, Medco yang tidak tahu apa-apa tentang pemasangan pipa, menjadi mengerti.
Demikian juga saat memulai usaha pengeboran minyak tahun 1981, juga tak lepas dari bantuan pemerintah. Menurut Arifin, tahun itulah titik awal Medco menjadi besar. Pada waktu itu, ia memiliki kedekatan dengan Dirjen Migas Wiharso yang menginginkan ada pengusaha lokal dalam proyek jasa pengeboran. Kebetulan ada penyertaan modal pemerintah ke Pertamina, yang mau melakukan pengeboran gas di Sumatera Selatan.
Pemerintah mendorongnya untuk ikut tender, meskipun tidak punya peralatan ngebor. Pemerintah memanggil perusahaan asing yang berpeluang menang diminta untuk menyewakan alat, atau memakai orang-orang Medco sebagai mitra. Tujuan pemerintah waktu itu adalah untuk membesarkan pengusaha lokal. Namun, tanggapan dari perusahaan asing itu membuat Pak Wiharso tersingung dan batal. Lalu Pak Wiharso memintanya menggarap proyek itu sendirian. Arifin sama sekali tidak percaya dengan keputusan itu karena ia tidak memiliki pengalaman melakukan pengeboran.
Hasilnya, ia kelabakan karena proyek yang ditenderkan tahun 1979 sudah harus mulai dikerjakan pada tahun 1980. Dengan perasaan yakin, ia pun terima tantangan itu. Tahap awal ia instruksikan staf yang memiliki kemampuan bahasa Inggris untuk menjajaki pusat penjualan peralatan pengeboran di AS. Baru setelah ada kepastian dan diketahui harganya, ia terbang dari Jakarta ke Houston, AS. Perjalanan itu merupakan pengalaman pertamanya ke AS. Bermodal "bahasa Inggris Tarzan" dan uang 300.000 dollar AS, ia melakukan deal dengan pemilik barang. Hasilnya, deal berlangsung buruk.
Penjual barang meminta dalam waktu dua minggu barang seharga 4 juta dollar AS sudah dibayar, kalau tidak maka uang muka 300.000 dollar AS hangus. Ia terpaksa menerima syarat itu karena posisi tawarannya yang jelek. Setelah itu ia langsung terbang ke Indonesia. Saking panjangnya perjalanan dengan tiket ekonomi, tiba di Indonesia langsung sakit. Namun, dengan kondisi yang berat ia berusaha menemui Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, lalu ke Pertamina.
Cara itu merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan karena ia masih merupakan pengusaha "bayi". Beruntung, Pak Piet Haryono dan Pak Wiharso memberikan rekomendasi, Medco patut dibantu. Dana pun cair di ambang batas perjanjian. Proyek pun bisa berjalan sesuai waktu yang ditentukan pemerintah.
Terhadap bantuan yang diberikan pemerintah itu, Arifin menilai sangat positif agar pengusaha lokal mampu bersaing. Namun, tetap harus dilakukan secara betul karena kalau tidak bisa, jadi salah arah. Di sinilah sulitnya, kadang proteksi itu memberikan hasil yang sebaliknya. Mumpung dikasih proteksi, pengusaha malah menjadi manja.
Setelah merintis usaha tahun 80-an, Medco memulai kejayaannya pada tahun 1990. Sebelum tahun 1990 Medco selalu bekerja sama dengan pihak ketiga dan untuk masuk ke sana bukan hanya masalah konsistensi ketekunan dan normatif, tetapi juga urusan garis tangan sebagai penentu. Sebab, untuk memburu satu sumur minyak bukan urusan ribuan dollar AS, tetapi jutaan dollar AS dan itu pun belum tentu ketemu minyaknya.
Namun, keinginan untuk bisa mandiri tetap ada, maka tahun 1990 untuk pertama kali Arifin membeli sumur minyak di Tarakan, Kalimantan Timur, seharga 13 juta dollar AS. Ladang itu mampu berproduksi 4.000 barrel per hari (bph). Tahun 1995, beli lagi sumur minyak tertua PT Stanvac Indonesia milik ExxonMobil, yang sampai saat ini total produksi yang dimiliki Medco mencapai 80.000 bph.
Barangkali inilah prestasi paling gemilang dari Arifin dan perusahaannya, Meta Epsi Drilling Company (Medco). Pembelian Stanvac dimenangkan melalui tender yang kemudian namanya diubah menjadi Expan. Dengan pembelian itu, PT Stanvac tidak lagi dikuasai orang asing sebab perusahaan minyak tertua di Indonesia itu sudah dimiliki sepenuhnya oleh Medco.
Keberhasilan itu konon karena ada unsur tekanan dari pemerintah. Atas isu tersebut, Arifin membeberkan bahwa ia membeli perusahaan minyak itu melalui tender intemasional. Untuk bertemu langsung dengan orangnya saja tidak bisa. Baru setelah selesai pembelian, mereka bisa benar-benar bertemu. Ia membelinya secara langsung. Waktu itu cadangannya cuma 20 juta. Kemudian tahun 1996 produksi digenjot. Hasilnya, satu lapangan saja bisa mendapatkan 320 juta barel minyak.
Sukses di bidang perminyakan ternyata membuat Arifin berpikir lain masih dalam sektor tambang. Kenapa orang lokal tidak bisa berjaya di gas, seperti halnya di minyak. Padahal Indonesia kan salah satu produsen gas terbesar di dunia dan banyak industri yang berteriak kekurangan gas? Pernyataan inilah yang kerap membuatnya gundah. Jika kita lihat pada satu sisi, Indonesia menempati posisi nomor satu di dunia dalam ekspor LNG karena cadangan gas jauh lebih banyak dari minyak. Kini, cadangan sudah mencapai 170 triliun kaki kubik (TCF). Jika cadangan itu diproduksi, sampai 50 tahun pun tidak akan habis.
Gas itu ada di luar Pulau Jawa, tetapi tetap harus harus dibawa ke Pulau Jawa karena berapa pun harganya tetap menarik. Misalnya PLN, jika membeli gas harganya hanya 3 dollar per million metric british thermal unit (MMBTU) sudah sangat mewah. Namun, kalau disetarakan dengan BBM sama dengan 18 dollar AS per barrel. Harga itu sangat murah dibandingkan harga BBM yang harus dibayar PLN sebesar 30 dollar AS per barrel.
Namun, kembali lagi, kenapa gas tidak ada di Pulau Jawa, ini masalah kebijakan pemerintah. Jadi, mestinya Bappenas atau Menteri bidang Ekuin sama memikirkan, apakah terus bergantung minyak yang harganya 30 dollar AS per barrel. Medco menjual ke Pusri 1,8 dollar AS ditambah ongkos pipa 0,5 sen dollar, sudah bisa untung.
Inilah yang ia anggap kebijakan itu keliru. Demikian juga proyek yang dibangun oleh PT Perusahaan Gas Negara, yang berhasil menyambung pipa gas ke Singapura, setelah itu membangun pipa ke Pulau Jawa adalah kebijakan yang salah. Gas di Sumsel sebenarnya tak banyak lagi, jadi seharusnya dibawa ke Jawa saja. Tetapi, barangkali pemerintah memiliki pertimbangan harga di Singapura yang barangkali lebih baik.
Sukses di dunia bisnis membuatnya ikut berpetualang ke dunia politik. Awalnya ia melakukan pertemuan di Hotel Radisson Yogyakarta tahun 1997. Sebenarnya itu adalah pertemuan atau diskusi biasa. Namun, efeknya luar biasa, khususnya buat Arifin. Ia dituduh berupaya menggagalkan Sidang Umum MPR yang akan mengesahkan Soeharto menjadi Presiden ketujuh kalinya.
Ketika aksi mahasiswa semakin memanas, Arifin memberi bantuan konsumsi kepada para demonstran yang melakukan aksi di Gedung DPR. Ribuan kotak makanan dikirim. Tak heran jika kemudian muncul opini bahwa Arifin adalah tokoh di belakang aksi atau cukong para mahasiswa. Namun, Arifin tahu bahwa ia tidak sendiri. Gerakan reformasi merupakan suratan untuk memperbaiki keadaan.
Cobaan terhadap langkahnya di dunia politik masih berlanjut. Di era Presiden BJ Habibie, Arifin Panigoro kembali dijerat dengan tuduhan pidana korupsi penyalahgunaan commercial paper senilai lebih dari Rp 1,8 triliun. Pada waktu itu, sejumlah kalangan percaya dijeratnya Arifin karena kedekatannya dengan gerakan mahasiswa. Bahkan pada masa pemerintahan Megawati, Arifin kembali dicoba untuk dijerat lewat perkara di kejaksaan. Sejak awal, dirinya yakin hanya dikerjain karena masih banyak pihak yang tidak senang dengan aktivitas politik yang digeluti.
Pengalamannya sebagai pengusaha membuat dia tidak kaget dengan praktik politik karena di dalamnya ada aktivitas melobi atau menggarap, juga money politics. Baginya, hari-hari uang adalah urusannya. Dari permulaan bekerja sebagai pengusaha, ia tidak pernah buat kesepakatan dengan fasilitas yang diperolehnya.
Demikian juga dengan urusan politik yang juga bagian dari kompromi lintas fraksi, kesepakatan semua kekuatan. Hal-hal begitu tidak selalu pakai uang, cukup pengertian bahwa kita punya sesuatu yang lebih besar, mari kita jalani sama-sama. Namun, perjalanan tidak selalu mulus, godaan banyak. Apalagi kekuatan politik sekarang sesudah zaman Soeharto, relatif pemainnya baru semua.
Meskipun terbiasa bermain dengan uang, namun Arifin mengaku memiliki batasan dalam memainkan uangnya. Sayangnya, proses politik atau proses pengambilan keputusan politik, ternyata uang yang berbicara. Padahal, meskipun ia seorang pebisnis, tetapi ia mau bisnis tanpa uang. Meskipun ia mengaku, cara bisnisnya memang tidak sebersih di AS. Di negara itu, mentraktir makan di atas 100 dollar AS sudah termasuk kategori sogokan. Ia tidak begitu amat, tetapi mendambakan good government and corporate governance, supaya bisa membuat bangsa ini ke depan lebih baik.
Ia berhitung, hari ini, uang dihabiskan untuk apa saja. Ia mau menghitung berapa total uang yang dikeluarkan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia, yang akan membebani APBD setiap daerah. Jangan lupa, itu uang rakyat dari pajak. Kalau pemimpinnya main, tentu menggelembungkan dana proyek, tentu bawahan juga ikut ambil bagian. Dengan demikian korupsi akibat kedudukan bisa menimbulkan efek berantai, jika dana diselewengkan Rp 1 triliun, uang rakyat yang bakal hilang sekitar Rp 10 triliun untuk pemilihan kepala daerah.
Perkenalannya lebih mendalam dengan dunia politik adalah ketika partai-partai baru bermunculan tahun 1998-1999 setelah lengsernya Soeharto dari kursi presiden. Pada awalnya, Arifin menjalin hubungan dengan berbagai tokoh politik, baik tokoh masyarakat yang sudah lama dikenal maupun tokoh yang baru muncul. Saat deklarasi partai baru dilangsungkan, Arifin kerap menghadirinya. Namun, akhirnya pilihannya jatuh ke PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Bersama PDIP, Arifin pun melenggang menuju Senayan sebagai anggota DPR/MPR.
Untuk kategori pemain baru di dunia politik, sebenarnya karir politik Arifin terbilang bagus. Ia bisa duduk di jajaran DPP partai peraih suara terbanyak dalam pemilu. Ia pernah memimpin lintas fraksi, juga menjadi Ketua Fraksi PDIP MPR. Namun, dunia politik memang seperti cuaca yang cepat berubah. Arifin yang kerap dikenal sebagai anak “indekos” di partai berlambang banteng merah gemuk itu dianggap sudah kurang loyal kepada partainya dan mulai memihak lawan partai politiknya bernaung.
Arifin Panigoro yang dulu dianggap sebagai inspirator pembangunan jalan mulus Presiden Megawati menuju kursi kepresidenan, kini dianggap sebagai anak yang nakal. Isu pun merebak bahwa Arifin bakal dipecat. Namun, hingga saat ini, isu tersebut tidak berbuah menjadi kenyataan.
Terhadap isu tersebut, ia berpendapat kalau dirinya dikeluarkan, sepertinya ia harus membuat acara perpisahan dengan teman-teman. Tetapi, sebetulnya ia sudah memikirkan untuk keluar. Menurutnya, kalau dikeluarkan dirinya akan lebih senang. Seperti orang kerja, kalau berhenti tidak dapat pesangon, kalau diberhentikan malah dapat pesangon.
Meskipun siap untuk keluar, namun mengenai masa depan politiknya masih belum jelas, dan ia sendiri masih belum bisa mengira-ngira ke mana akan berlabuh. Hal itu terjadi karena dari tahun 1998 ia termasuk non-partisan, meskipun belakangan bergabung ke partai. Awalnya, ia datang pada setiap acara peresmian partai baru, sampai akhirnya bergabung dengan PDIP.
Arifin menganggap dirinya sebagai seorang oportunis yang iseng-iseng. Atau ia hanya ingin ada lima tahun periode yang lain, tidak hanya menjadi seorang pengusaha.Tetapi yang pasti, hematnya, konyol jika berhenti lalu serta-merta melawan PDIP, apalagi mau menggulingkan Megawati.
Jika benar-benar mundur dari dunia politik, kemungkinan ia akan relaksasi dan bermain golf di Paris atau mencari sekolah khusus untuk mereka yang sudah berumur di kota yang mempunyai makanan yang enak-enak. Mungkin enam bulan istirahat dulu.
Ia juga termasuk orang yang respek terhadap cendekiawan muslim Noercholish Madjid (Cak Nur). Menurutnya, Cak Nur itu bukan politikus, tetapi berminat jadi presiden. Ketika pertama kali mengemukakan minatnya jadi presiden Arifin termasuk orang yang awal-awal mendatangi dan bertanya, ternyata jawabannya memang mau. Pikirnya, siapa pun ini, dia dari unsur yang berbeda dibandingkan politikus yang lain. Dengan demikian bisa menjadi ukuran moral, sebab moral juga harus terukur. Paling tidak, politikus ada malu-malu sedikit. Jadi, pencalonan Cak Nur, sebenarnya dapat meningkatkan kualitas pertandingan.
Mengenai kehidupan keluarganya, suami dari Raisis A Panigoro cukup bahagia. Anak-anaknya sudah besar, bahkan yang tertua Maera Hanafiah sudah menikah dan sebentar lagi dikarunia anak kedua. Adapun yang bungsu Yaser Mairi sedang menambah pendidikan di Singapura pada bidang IT. Sekarang, meskipun agak telat, ia sadar, kalau dirinya kurang memberikan perhatian kepada anak-anak, karena jam kerja yang ngawur. Sekarang, sejak sekolah di luar negeri, anak-anaknya seakan-akan lupa dengan orang tua.
Meskipun anak-anak itu bersekolah di luar negeri, namun tidak ada yang secara khusus disiapkan menggantikannya. Anak pertamanya seorang ibu rumah tangga, anak kedua tidak dipersiapkan untuk itu. Prinsipnya, Medco bukan perusahaan keluarga, jadi sebaiknya dijalankan oleh profesional. Kebetulan, adiknya orang minyak. Jadi, Hilmi Panigoro duduk Medco.
Ia juga tidak akan memaksakan anak-anak untuk meneruskan usaha orang tuanya. Jika kapasitasnya sudah dipenuhi, silakan saja kalau mau meneruskan. Ia mengaku tidak takut jika perusahaannya dipegang oleh orang lain, toh semua aset, cadangan tidak ke mana-mana.
Meskipun kini sudah menjadi "raja minyak", suami dari Raisis A Panigoro ini mengaku, kaya itu relatif. Dia mengaku tak pernah menghitung, apakah dirinya kaya atau tidak, sebab semua hidup yang dijalani terus menggelinding. Baginya, disebut kaya itu relatif, kalau di Indonesia, seperti dirinya memang sudah menonjol. Sebagai orang yang beberapa kali dicekal untuk bepergian ke luar negeri, ia pun bertanya untuk apa kekayaan itu.
Sebagai orang yang romantis, ia mengaku merasa benar-benar kaya, kalau berada dalam satu konser musik yang benar-benar disukai. Seperti saat ini, setelah bisa menikmati alunan gamelan Jawa, maka setiap mendengar musik Jawa itu sebelum tidur, dia merasa kaya. Jadi, baginya kaya cukup sederhana, bukan harta melimpah atau kekuasaan.
Arifin juga sadar, suatu saat akan pensiun sebagai orang perminyakan. Namun, tidak berarti ia akan berdiam diri. Ia merencanakan untuk memfokuskan ke Medco yang lain yaitu di bidang agrobisnis. Sekarang ini orang sedang banyak bicara tentang pertanian. Masalah minyak goreng yang masih kurang kelapa sawitnya. Mungkin itu adalah salah satu pelabuhan yang akan ditujunya kemudian.


ALIM MARKUS

Maspion dan Alim Markus adalah dua nama yang tak terpisahkan. Di Jawa Timur, orang mengenal nama Maspion sebagai kelompok usaha besar, yang menjamah berbagai bidang usaha: industri peralatan rumah tanga, elektronik, perbankan, real estate hingga perbisida. Sedangkan Alim Markus dikenal sebagai Presiden Direktur Grup Maspion, yang mampu melambungkan nama Maspion sebagai salah satu kelompok usaha yang paling bersinar di Jawa Timur. Perkembangan Grup Maspion yang makin pesat belakangan ini memang tidak lepas dari sentuhan tangan dan kegigihan Alim Markus. Pria berperawakan sedang ini rela mengorbankan pendidikan dan masa kecilnya untuk mulai berkiprah di dunia bisnis. “Saya hanya mengenyam pendidikan sampai kelas dua SMP karena keburu membantu usaha orang tua,” menurut Markus. Ya, pada usia 15 tahun, sebagai anak tertua Alim Markus, lelaki yang kini berusia 44 tahun itu diminta untuk membantu bisnis keluarganya, PT Logam Djawa – produsen peralatan rumah tangga sederhana yang terbuat dari alumunium, seperti panci dan wajan. Mulailah Remaja cilik Markus meninggalkan pendidikan formal di Sekolah, dan memasuki ajang pendidikan yang lebih luas: dunia bisnis. Ia keluar masuk pasar dan toko untuk menjajakan barangnya. Bertemu dengan berbagai macam orang, dengan karakternya yang beragam. Dari pergaulan itulah ia menimbah ilmu yang tidak pernah diajarkan di Sekolah. Selain itu, karena merasa pendidikan formalnya kurang, Markus pun mau bersusah payah menambah ilmu di sela-sela kesibukannya menjalankan roda usaha. Ia mengambil berbagai kursus. “Pengetahuan saya dari Sekolah kan sangat minim, mau nggak mau saya harus belajar sendiri,” ujarnya. Maka, ia pun sibuk belajar akuntansi, bahasa Inggris dan Jepang – belakangan ia juga belajar bahasa Korea dan Jerman. Karena perusahaannya masih kecil, Markus pun kemudian menjelajah berbagai aspek dalam pengelolaan usaha. Selain menangani pemasaran dan distribusi, ia pernah menjadi kasir, pemegang buku, dan pekerjaan lainnya. “Karena saya membantu perusahaan sejak kecil sampai besar, maka saya mengalami semua seluk beluk perusahaan,” kata Markus. Berkat gemblengan masa lalunya, hingga kini Markus selalu ingin mengetahui bagaimana perkembangan bisnisnya. Jadi, misalnya, ketika berjalan-jalan di pabrik, ia bisa tahu berbagai proses produksi yang dijalani. Ia memang ingin mengetahui segala sesuatunya secara rinci. “Kita harus mengetahui dan menguasai semua bidang pekerjaan,” kata Markus. Tapi, itu tidak berarti dengan mengetahui secara mendalam semuanya lalu Markus mengerjakan sendiri. “Sebagai pimpinan kita harus bisa Mendelegasikan wewenang,” tuturnya. Cuma ia punya sikap yang jelas, Mendelegasikan wewenang adalah suatu keharusan, tapi dia tetap harus tahu secara rinci. “Kan banyak pengusaha yang bersikap, ‘Ngapain saya tahu secara detail, saya serahkan saja kepada orang sudah cukup.’ Nah, yang seperti itu bukan pengusaha betul. Kita boleh mengetahui, tapi jangan dikerjakan sendiri. Kalau dikerjakan sendiri, kapan selesainya dan kapan memimpin orang lain.” Agaknya, keterlibatan total Markus dalam pekerjaannya itulah yang membuat perusahaan keluarga Alim terus berkembang. Keinginan Markus untuk maju juga kian menggebu-gebu. Seiring dengan perkembangan usaha, Markus makin rajin menimbah ilmu dari berbagai sumber: mulai dari kursus-kursus (kalau perlu ke luar negeri) hingga berbagai seminar, dan pergaulan dengan kalangan bisnis. Ia pun kerap menyerap gagasan dari berbagai buku yang dibacanya. Kenapa Markus demikian bersemangat menempah diri? “Orang yang tanpa pengetahuan tidak akan menjadi profesional,” kata Markus. Tapi, pengetahuan saja dianggap tidak cukup. Profesional saja masih kurang. Harus ada faktor lain, yakni punya kemauan keras, disiplin, dan ketekunan. “Kalau punya kemauan keras tapi gampang putus asa, itu tidak betul, harus tekun dan langgeng. Kemauan keras tapi tidak disiplin, itu juga salah. Dan yang tak kalah penting kemampuan membawahkan (leadership),” kata Markus, membeberkan kiatnya memimpin Maspion. Belajar sambil berbisnis itulah yang menempahnya hingga cepat matang. Tak heran jika dalam usia yang masih cukup muda, 30 tahun, Alim Markus pun tampil sebagai Presdir Grup Maspion, menggantikan posisi ayahnya pada 1980. Ketika itu, nama Logam Djawa tidak lagi “berbunyi”, karena sejak 1971 Markus bersama ayahnya mendirikan PT Maspion Plastic & Metal Manufacturing. Sejak itu nama Maspion berkibar, dikenal sebagai produsen alat-alat rumah tangga yang terbuat dari plastik dan alumunium. Di industri plastik, yang dihasilkan Maspion bukan Cuma rantang atau termos dan berbagai macam peralatan rumah tangga lainnya, tapi juga pipa PVC. Bahkan lebih ke hulu lagi, masuk ke produk bijih plastik. Demikian pula di alumunium, yang dihasilkan bukan lagi panci-panci sederhana, tapi dengan bahan yang lebih baik, stainless steel dan peralatan rumah tangga berlapis Teflon, serta aluminium untuk konstruksi. Kini, puluhan perusahaan bernaung di bawah bendera Maspion – kepanjangan nama Mas Pionir. Karyawannya yang tersebar di tiga lokasi pabrik (Maspion Unit I, II dan III) ada 20.000 orang. Untuk memimpin perusahaan sebesar itu, Markus dibantu adik-adiknya: Alim Mulia Sastra, Alim Satria, dan Alim Prakasa. Seperti diketahui, Grup Maspion dibagi dalam beberapa divisi. Dan di setiap divisi, Markus berduet dengan salah satu adiknya. Misalnya, di Indal Alumunium Industry, penghasil peralatan rumah tangga dan berbagai jenis produk alimunium lainnya, Markus bersama Prakasa tampil sebagai pemimpin. “Kalau saya tidak ada, misalnya sedang keluar negeri, maka yang menangani perusahaan ya Pak Markus,” kata Prakasa. Saudaranya yang lain hanya sebatas pemegang saham. “Saham yang dimiliki sama besarnya, hanya saya yang lebih tinggi 5% di bandingkan adik-adik saya untuk setiap perusahaan Grup Maspion,” kata Markus. Dengan pembagian wewenang seperti itu, proses pengambilan keputusan bisa cepat. Misalnya, kalau ada usul untuk mengembangkan usaha di Indal, maka yang berbicara cukup Markus dengan Prakasa. Jika keduanya sepakat, rencana pun dijalankan. Jika tidak, maka perbedaan yang muncul di bawa ke rapat setiap Senin. Rapat yang diselenggarakan di kantor pusat Grup Maspion ini – di Jalan Kembang Jepun, Surabaya – juga dihadiri oleh pemegang saham mayoritas (50%) Grup Maspion, Alim Husein. Di situlah keluarga Alim (Alim Husein, Alim Markus, Alim Mulia Sastra, Alim Satria, Alim puspita dan Alim Prakasa) membicarakan berbagai hal penting yang menyangkut perkembangan Maspion. Bagi Prakasa, peran paling penting dari Markus dalam pengembangan bisnis Maspion adalah penataan sistem manajemennya yang dilakukan pada tahun 1980-an. “Pak Markus sangat memperhatikan penataan ini, mulai dari sistemnya hingga pengadaan perangkat komputer pada tahap awal pengembangan perusahaan,” kata Prakasa, yang baru terjun ke bisnis setelah meraih gelar MBA dari Kanada. Dalam mengembangkan usaha, Markus sangat selektif memilih mitra bisnis. “Kami selalu memilih mitra bisnis yang terbaik di bidangnya,” kata Markus. Umpamanya, Maspion menggandeng Du Pont (Amerika Serikat) yang memiliki teknologi Teflon – kemudian melebar ke industri agrokimia. Dan bermitra dengan Samsung (Korea Selatan) Maspion masuk ke industri elektronik dan electric home appliance, seperti kipas angin dan Setrika. Contoh lain, Raksasa Marubeni diajak bermitra untuk menghasilkan produk antikarat. Ketika membidik industri melamin, Maspion memilih mitra dari Thailand. “Peralatan makan melamin yang dihasilkan perusahaan Thailand itu paling tinggi mutunya di dunia,” kata Markus. Dengan memilih mitra yang paling menonjol prestasi teknologi atau penguasaan pasarnya, Maspion akhirnya mampu menghasilkan produk dengan kualitas tinggi. Itu sebabnya, pesanan dari mancanegara mengalir ke Maspion. Sebuah jaringan toserba di AS, misalnya, memesan peralatan masak yang khusus dipasarkan di Negara Paman Sam itu – Master Cuisine 9000.

Maspion kini sudah besar. Dan itu terjadi karena strategi ekspansi yang diterapkan Markus cukup mengena. “Kami menganut falsafah kalau kami menanam padi, hasilnya pun padi. Kalau kami menanamnya banyak, hasilnya juga banyak,” kata Markus. Jelas, bahwa di bawah kepemimpinan Markus, Maspion akan terus melakukan ekspansi, baik yang masih berkaitan dengan bisnis yang kini ditangani, atau sama sekali bidang usaha baru. Jangan tanyakan apa bisnis inti Grup Maspion. Sebab, bagi Markus, “Core business adalah bisnis yang bisa dikuasai.” Jadi, semua usaha yang dimasuki Maspion adalah bisnis inti. “Konsep saya lain. Kalau kami bisa bersaing dengan orang lain, itulah bisnis inti kami. Jadi, tak berarti saya hanya terjun ke satu industri, tanpa mengembangkan yang lain,” tuturnya serius. “Namanya usaha, ya segala bidang kami masuki,” ujarnya lagi. Bagi Markus, pengembangan usaha adalah hal yang perlu terus menerus dilakukan. Ibarat menanam pohon, kalau hanya bisa menanam lima pohon, lima itulah yang dipelihara sehingga manjadi besar. Setelah berbuah, tanam lagi pohon lain agar pohon yang ada di lahan usahanya bisa berkembang terus. “Dan di bidang itu kami harus menjadi market leader,” katanya. Itu dibuktikan dengan penguasaan pasar plastik peralatan rumah tangga nasional sebesar 30%, pipa PVC 40%, dan alumunium sheet 80%. Namun Markus juga sangat menekankan bahwa dalam pengembangan bisnis tidak perlu serakah. Sebab, kalau serakah, bisa diibaratkan, “Kita ingin menanam pohon sebanyak-banyaknya, tapi kewalahan menyirami dan memupuknya, sehingga hasilnya menjadi jelek.” Dalam menangkap peluang bisnis. Markus mengumpamakan seperti memburuk burung. Dan sebagai pemburu peluang, senjata utama pengusaha adalah permodalan. “Tanpa modal, kan tidak mungkin menjalankan usaha. Modal ini pun harus diakumulasikan, karena dengan modal kecil, usaha yang bisa dimasuki juga kecil,” kata Markus. Sedangkan kemampuan manajemen diibaratkan sebagai kemahiran menembak. “Kita harus aktif. Peluang usaha adalah burung yang harus dikejar,” ujarnya. Nah, dalam memburu peluang itu, ketepatan waktu juga penting. Sebab, kalau tidak tepat, misalnya membidik terlalu lama, bisa saja tiba-tiba burung tersebut terbang dan kesempatan pun menghilang. “Harus punya keberanian untuk menembak pada saat yang tepat,” kata Markus. Dalam bekerja, semangat efisiensi sangat mewarnai gaya kerja dan penampilan Markus. Ruang kerjanya, misalnya, tidak terlalu besar dan transparan dengan dinding dari kaca tebal. Orang yang lalu lalang di depanya akan mengetahui apakah Markus ada di ruangan atau tidak. Apalagi pintu ruang kerjanya selalu terbuka. Semangat keterbukaan? Tidak persis dimaksudkan begitu. Yang diutamakan efisiensi. “You buka pintu saja sudah kehilangan waktu sekian detik. Kan sayang. Biarkan saja pintu terbuka, toh tidak ada nyamuknya,” kata Markus. Ia pun tidak khawatir gerak-geriknya terlihat oleh bawahannya. “Kalau sama karyawan tidak apa-apa. Tamu kan tidak akan nyelonong begitu saja karena sudah sering di bawah. Sekretaris saya pun bisa menghadap orang sembarangan,” kata Markus. Kepercayaan Markus pada “filternya” memang tidak belebihan. Begitu masuk ke kantor pusatnya di lantai pertama, orang akan segera berhadapan dengan petugas yang akan menanyakan maksud kedatangan orang itu. Jika diizinkan bertemu dengan bos Maspion, tinggal naik tangga ke lantai dua, dan akan berhadapan dengan empat, ya empat sekretaris Alim Markus. “Sekretaris saya memang empat. Tapi semuanya efisien, bekerja penuh. Coba you lihat kalau masuk ke kantor saya, tidak ada orang yang membaca koran. Semua bekerja,” kata Markus. Tidakkah pekerjaan para sekretaris itu bertabrakan satu sama lain? “Tidak. Pekerjaan kami terbagi dalam beberapa masalah. Apalagi Maspion kan perusahaan besar, ada puluhan perusahaan, sehingga permasalahan pun banyak,” kata Wati, yang mengurus bidang umum. Sedangkan untuk urusan jadwal kegiatan Markus, Catherine yang mengatur. Begitulah, jika di luar kantor, atau sedang melaju di atas mobilnya, Markus tinggal mengecek kepada Catherine, apakah ada orang yang mencarinya. Jika ada, ia tinggal menghubunginya. Atau menanyakan persoalan yang mesti diselesaikan pada sekretaris lain jika menyangkut bidang usaha yang dibawahinya. Soal real estate, misalnya, akan langsung berhubungan dengan Setyowati.

Markus, efisien menggunakan waktunya. Setiap hari, bangun pukul 5.00, lalu segera meluncur ke lapangan golf. Dari tempat olah raga, ia tidak balik ke rumah. “Saya mandi dan sarapan di tempat golf, dan langsung ke kantor,” kata Markus. Sebelum pukul 08.00 Markus sudah tenggelam dalam urusan kantor hingga sore hari. Karena itu, sepulang kerja, waktunya dicurahkan untuk keluarga. Markus pantang membawa pekerjaan ke rumah. Demikian pula isterinya, Srijanti, sama sekali tidak pernah menjamah atau merecoki pekerjaan suaminya atau urusan kantor. Jadi, setelah pulang dari kantor, di rumah waktu Markus dihabiskan untuk keluarga, dengan sang isteri dan dua anaknya yang masih kecil. Lima anaknya yang lain bersekolah di Singapura. Praktis rumah di atas lahan seluas 1.800 meter persegi luas bangunannya sekitar 250 meter persegi yang ditata apik itu terasa lengang. Dengan 47 pabrik dan 20.000 karyawan, sebenarnya Maspion dan keluarga alim sudah boleh disebut sukses. Toh, Alim Markus masih merasa bisa mengembangkan kelompok usahanya untuk menjadi lebih besar lagi. Di benaknya sudah tergambar “peta” perkembangan yang akan ditempuh dalam 5 – 10 tahun mendatang. “Jika disituasi ekonomi dan politik tetap stabil seperti sekarang, kami bisa terus berkembang dan menampung tenaga kerja sampai 50.000,” ujarnya. Impian yang cukup “berani”. Soalnya, jangankan mengurus karyawan puluhan ribu, mengelola karyawan yang jumlahnya ratusan saja bisa bikin kelenger.- apalagi kalau muncul aksi mogok. Maspion pun pernah merasakan bagaimana kacaunya situasi ketika para pekerja mogok pada tahun 1993 lalu.

Jika di perusahaan lain tuntutan utama pemogokan biasanya menyangkut penyesuaian upah atau gaji, di Maspion lain, karena tingkat upah di kelompok perusahaan ini memang selalu di atas upah minimal yang ditetapkan Pemerintah. Justru karena upahnya yang sudah lumayan itulah, Maspion terhindar dari pemogokan. Ketika aksi mogok merebak di Surabaya, seorang pejabat di sana menunjuk Maspion sebagai contoh perusahaan besar yang tak pernah dilanda pemogokan, dan meminta pengusaha di Surabaya mencontoh Maspion. Markus ingat persis omongan pejabat itu diucapkan pada bulan Juni 1993. “Eh, tak tahunya pada bulan Juli karyawan Maspion mulai mogok,” kata Markus. Yang menyulut pemogokan, menurut Markus, karena persoalan normatif. Para karyawan meminta agar pimpinan pabrik salah satu unit usahanya dipecat. Alasannya, kepala pabrik tersebut terlalu singkat memberi waktu istirahat, Cuma 39 menit, yang dinilai para karyawan tidak cukup untuk dipakai makan siang dan sembahyang. Apalagi jika hari Jum’at, karyawan harus pontang-panting makan dan sholat Jum’at. Telat sedikit, mereka disemprot pimpinan, lengkap dengan ancaman pemecatan. Situasi itulah yang membuat karyawan mangkir kerja. Markus akhirnya mencopot pimpinan pabrik yang sok kuasa itu, dan memutasikannya ke bagian lain. Ternyata kejadian itu diikuti oleh karyawan bagian lain. Mereka merasa mendapat angin mogok dan meminta pimpinan yang tidak disukai dipecat. Sialnya, ketika aksi mogok digelar terjadi kebakaran di tiga pabrik, “Di Maspion unit 1 kan ada 15 pabrik, yang mogok itu empat pabrik,” kata Markus. Permintaan para karyawan untuk memecat atasannya masing-masing di pabrik kedua, ketiga, dan keempat, ditampik Markus. Ia meminta supaya perselisihkan antara karyawan dan pimpinannya diselesaikan secara hukum. “Siapa yang merasa dirugikan, silakan melapor ke Depnaker atau melalui kepolisian dan ke pengadilan,” kata Markus. Kejadian itu memberi hikmat kepada Markus untuk lebih memperhatikan aspek nongaji karyawannya. Markus, kini setiap Sabtu sore 200 – 300 karyawan Maspion Unit 1 diangkut untuk berolahraga; senam atau lari atau pertandingan antarpabrik. “Mereka berolahraga dan kami menghitung waktu olahraga itu sebagai lembur,” kata Markus. Saat berolahraga itulah, kebersamaan karyawan dengan pimpinannya digalang. Energi para karyawan yang masih muda-muda pun tersalur secara positif.

Minggu, 26 April 2009

ABDUL LATIEF

SUKSES BISNIS DENGAN GAYA YANG TRENDI DAN MODIS

Abdul Latief lahir pada tanggal 27 April 1940 di Kampung Baru, Banda Aceh. Anak keenam dari sembilan bersaudara ini, dibesarkan di tanah rencong itu. Dua puluh tahun sebelumnya, ayahnya meninggalkan Tanah Minang, dan menetap di Aceh sebagai pedagang. Ayah dan Ibunya dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah di Aceh. Sayang, ayah Abdul Latief meninggal tatkala ia berumur empat tahun. Dalam suasana pergerakan mempertahankan kemerdekaan dan perjuangan rakyat Aceh itu, Abdul Latief dibesarkan oleh ibunya. Karena dibesarkan dalam zaman-zaman perjuangan dengan suasana politik yang panas, Abdul Latief bercita-cita jadi politikus di kemudiah hari. Namun, ibunya mengarahkan menjadi saudagar yang bersifat nasional seperti ayahnya. Ibu Abdul Latief adalah juga pejuang hidup, pada tahun 1950 ia membawa Abdul Latief bersaudara pindah ke Jakarta, berharap bisa berubah nasib di ibukota. Itulah sebabnya masa Remaja Abdul Latief diwarnai dengan kehidupan Remaja Betawi. Ia menyelesaikan pendidikan Sekolah lanjutan pertama dan atas di Jakarta. Ia kuliah di APP kemudian mengambil sarjananya pada tahun 1965 di Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Selama tahun 1945 dan 1966, situasi politik nasional sedang kacau. Demonstrasi-demonstrasi memenuhi jalan raya. Abdul Latief mengambil peran memasok makanan pada demonstran itu. Situasi belum pulih, tapi Abdul Latief diberi kepercayaan untuk mempelajari manajemen toserba dan supermarket di Seibu Group, Tokyo. Sebalik pulang Sekolah dari Jepang itu, ia lalu melangsungkan pernikahannya dengan Nursiah, gadis tetangga di Jakarta, pada tahun 1967.

Ada sebagian orang menyebut Abdul Latief, Dirut Alatief Corporation, masih aktif sebagai tokoh muda. Padahal, umur pendiri organisasi Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) itu sudah lebih setengah abad. Setidaknya, ada dua alasan kenapa ia masih dianggap aktivis Pemuda. Pertama, dalam berbagai kegiatannya, Abdul Latief selalu terlihat segar dan sangat bersemangat. Kepeloporan dan idealisme mengangkat pengusaha kecil, terutama yang berkaitan dengan bisnisnya, sering ia lakukan dengan gaya orang muda yang mampu melihat jauh ke depan. Kedua, Abdul Latief yang penampilannya setiap hari selalu trendy dan modis ini, sangat gemar berolahraga. Sehubungan dengan itu, ia juga rajin menjaga kondisi fisiknya, sehingga wajahnya kelihatan jauh lebih muda dibanding usianya. Abdul Latief memang terkenal lihai menjalin kerjasama dengan banyak orang. Ia sangat dipercaya oleh mitra bisnisnya. Bahkan, rekan bisnis di luar negeri pun, mau mengikat kerjasama dengannya, kendati ikatan itu tidak selalu hitam di atas putih.

Lewat Hipmi, Abdul Latief berhasil mengarahkan sejumlah besar Pemuda untuk menjadi pengusaha. Belakangan, Hipmi menjadi wadah yang amat digandrungi oleh ratusan pengusaha muda Indoesia. Banyak di antara para pengusaha muda itu adalah anak para pejabat dan mantan pejabat. Kesuksesannya mengantar Hipmi sebagai sebuah organisasi profesional, menyebabkan ia selalu terlibat dalam pembicaraan atau diskusi tentang pembinaan generasi muda. Baik dalam acara yang diselenggarakan Hipmi, maupun dalam acara yang diselenggarakan oleh organisasi Pemuda lainnya. Setelah lulus dari Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), Jakarta, dengan Predikat cumlaude, pada tahun 1963, Abdul Latief mendapat tawaran kerja di Stanvac di Sungai Gerong. Perusahaan asing yang bergerak di bidang eksplorasi minyak itu, akan memberi penghasilan dan karir yang baik baginya. Akan tetapi, gurunya di APP, menganjurkannya bekerja di Pasar Sarinah. Prospek kerja di pasar swalayan milik pemerntah itu, jauh lebih baik di bandingkan di Stanbac. Sebab, Bung Karno sebagai Presiden RI saat itu, sangat memberi perhatian untuk mengembangkan toko serba ada yang pertama di Indonesia itu.

Anjuran gurunya itu masuk akalnya, lalu ia pun bekerja di Pasar Sarinah. Abdul Latief mendapat tugas di bagian perencanaan. Lewat tugas ini, Abdul Latief berkesempatan berkeliling mengunjungi beberapa negara, terutama untuk mempelajari perkembangan iklim perdagangan di negara-negara itu. Singapur, Jepang, Eropa, Amerika menjadi negara yang dijelajahi pada waktu itu. Tidak lama kemudian ia diangkat sebagai Pimpinan Promosi Penjualan dan Pengembangan Eksport PT. Departemen Store Indonesia Sarinah (Pasar Saringah). Ia menimba banyak pengalaman dan pengetahuan. Ia memiliki relasi bisnis yang cukup luas, baik dalam negeri maupun luar negeri. Delapan tahun ia bekerja di Sarinah. Tantangan demi tantangan telah mampu ia selesaikan dengan baik. Dan, ia ingin mencari tantangan-tantangan yang lebih memberikan masa depan yang lebih baik baginya. Seolah-olah Pasar Swalayan Sarinah tidak lagi memberi prospek yang diinginkannya. Konsep pemasaran yang diambilnya dari Jepang kurang mendapat tanggapan pimpinan Sarinah. Ia pun mengambil keputusan besar, lalu meninggalkan Pasar Sarinah pada tahun 1971. Selama di Sarinah, Abdul Latief termasuk beruntung, karena ia sempat disekolahkan ke luar negeri. Ia belajar manajemen toko serta ada di Jepang selama dua tahun. Pulang dari sana, ia tidak hanya memiliki ilmu mengolah pasar swalayan, tetapi juga membawa mobil dan sejumlah uang saku. Dengan modal itu, ditambah relasi bisnisnya yang sudah sedemikian luas. Apalagi jabatannya sebagai pimpinan promosi Pasar Sarinah, menyebabkan ia banyak teman dan banyak yang mengenalnya. Itulah yang mendorong dia untuk mandiri dan buka usaha sendiri.

Pada tahun 1971 itu, ia langsung menjadi eksportir barang-barang kerajinan, yang masih dalam skala kecil. Sebagian dari modal yang dimilikinya dipakai untuk membeli tanah luas milik temannya yang sedang butuh duit. Pada tahun yang sama, Abdul Latief juga mulai mencoba meminjam kredit dari bank dengan jaminan tanah di atas. Kredit komersial Rp. 30 juta itu diperolehnya dari BDN. Ia mendirikan PT. Latief Marda Corporation, bergerak dibidang ekspor impor. Ia dibantu adiknya Abdul Muthalib. Tatkala usahanya sudah mulai memperlihatkan perkembangan, ia pun berpikir lebih maju lagi. Kebetulan tanah itu terletak di jalan Jakarta By Pass, sehingga ketika di jual harganya mahal sekali. Hasil penjualan ini yang kemudian menjadi modalnya mendirikan PT Indonesia Product Centre Sarinah Jaya pada tahun 1973. Nama pasar swalayan ini ada kaitannya dengan tempat asal dia bekerja. Nama itu secara historis punya arti tersendiri bagi Abdul Latief. Setahun kemudian, pasar swayalan milik Abdul Latief itu berkembang pesat. Ia mondar mandir Jakarta Singapur. Urusannya bukan hanya soal ekspor-impor, tetapi ia sudah mulai terjun di bisnis properti di negara pulau itu. Tahun 1975 ia membuka cabang pasar swalayannya di kota itu. Di sana ia membeli toko dan gedung, harganya tidak semahal sekarang, karena saat itu Singapura baru mulai membangun negaranya.

Akumulasi kekayaan yang berhasil dia kumpulkan selama sepuluh tahun berusaha secara mandiri, dia pakai untuk mendirikan Pasaraya di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Gedung Pasar Swalayan yang masuk kategori mentereng ini, dibangun Abdul Latief pada tahun 1981. Disinilah tonggak pertama yang ditancapkan Abdul Latief untuk mengukuhkan dirinya sebagai salah seorang pengusaha pedagang eceran yang patut diperhitungkan. Sebutan konglomerat – sesuatu istilah yang tak disukainya – sudah mulai melekat padanya. Ia selalu duduk semeja dengan para pengusaha kenamaan lainnya. Bahkan dengan pimpinan puncak pasar swalayan asal tempatnya kerja pun, ia sudah terlihat memiliki perbedaan. Lebih dari pada itu, Abdul Latief mendapat tempat yang terhormat di mata pemerintah. Sebab, ia mengangkat harga kehidupan dari sekian banyak pengusaha kecil. Oleh sementara orang ia disebut “Pahlawan pengusaha kerajinan rakyat Indonesia.” Perjalanan usahanya yang baik itu, rupanya tidak selamanya mulus. Pada akhir tahun 1984 Pasaraya Sarinah Jaya kepunyaannya di Blok M terbakar. Inilah percobaan pertama terberat yang dialaminya. Kerugian yang ia derita bukan hanya puluhan miliar, puluhan ribu pengunjungnya setiap hari, terpaksa berhenti sampai bangunan itu diperbaiki kembali. Ia tidak ingin putus kontrak dengan 2000 produsen kecil yang menyuplai keperluannya. Kesulitan ini, ia hadapi dengan tenang, 1200 karyawannya tidak akan diberhentikan, mereka disuruh Abdul Latief belajar manajemen, komputer, accounting, bahasa Inggris. Untuk program belajar ini, Abdul Latief mendatangkan pelatih dan pengajar ahli dari Singapur dan Hongkong. Yang menggembirakan Abdul Latief adalah kesediaan pihak asuransi menanggung sebagian kerugian itu. Bantuan dari rekan-rekannya, juga dari pihak pemerintah maupun swasta, sangat menjadi semangat baru bagi Abdul latief untuk memikirkan yang baik buat ekspansi bisnisnya.

Secara perlahan kerugian puluhan miliar rupiah itu, sirna sebagai gangguan pikirannya. Abdul Latief menata kembali jalur-jalur bisnisnya yang sudah sempat terputus. Lalu, diatas tempat gedung yang terbakar, telah berdiri dengan megahnya Pasaraya Sarinah. Bangunan berlantai sembilan itu luas lantainya 42.000 meter. Pengunjung pasar swalayan itu, ada sekitar 100.000 orang perhatiannya. 40% diantaranya adalah yang berbelanja. Dari tahun ke tahun penjualan di Pasaraya Sarinah naik terus. Dan terus menerus pula memberikan penambahan modal bagi Abdul Latif. Kawasan Blok M dimana Pasaraya ada, menjadi inceran para pengusaha bisnis eceran. Banyak konglomerat berlomba membangun fasilitas belanja di daerah itu. Kelompok Subsentra dan Pakuwon jati sudah membuka Blok M Plaza. Ometraco Group membangun pertokoan di bawah tanah, persis di bawah bekas terminal Blok M. Itulah sebabnya, ketika ada tanah seluas 1,4 hektar, dekat Blok M ditenderkan Deplu kepada para pengusaha tahun 1990, puluhan yang datang mendaftar, kendati pengumumannya tidak dilakukan secara terbuka.

Ada sebagian orang menyebut Abdul Latief, Dirut Alatief Corporation, masih aktif sebagai tokoh muda. Padahal, umur pendiri organisasi Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) itu sudah lebih setengah abad. Setidaknya, ada dua alasan kenapa ia masih dianggap aktivis Pemuda. Pertama, dalam berbagai kegiatannya, Abdul Latief selalu terlihat segar dan sangat bersemangat. Kepeloporan dan idealisme mengangkat pengusaha kecil, terutama yang berkaitan dengan bisnisnya, sering ia lakukan dengan gaya orang muda yang mampu melihat jauh ke depan. Kedua, Abdul Latief yang penampilannya setiap hari selalu trendy dan modis ini, sangat gemar berolahraga. Sehubungan dengan itu, ia juga rajin menjada kondisi fisiknya, sehingga wajahnya kelihatan jauh lebih muda dibanding usianya.

Abdul Latief memang terkenal lihai menjalin kerjasama dengan banyak orang. Ia sangat dipercaya oleh mitra bisnisnya. Bahkan, rekan bisnis di luar negeri pun, mau mengikat kerjasama dengannya, kendati ikatan itu tidak selalu hitam di atas putih. Lewat Hipmi, Abdul Latief berhasil mengarahkan sejumlah besar Pemuda untuk menjadi pengusaha. Belakangan, Hipmi menjadi wadah yang amat digandrungi oleh ratusan pengusaha muda Indonesia. Banyak di antara para pengusaha muda itu adalah anak para pejabat dan mantan pejabat. Kesuksesannya mengantar Hipmi sebagai sebuah organisasi profesional, menyebabkan ia selalu terlibat dalam pembicaraan atau diskusi tentang pembinaan generasi muda. Baik dalam acara yang diselenggarakan Hipmi, maupun dalam acara yang diselenggarakan oleh organisasi Pemuda lainnya. Cepat berpikir, gesit dalam bertindak adalah ciri khas Abdul Latief. Pernah suatu kali, penjualan barang-barang kelontong dalam pasar swalayan kepunyaannya, naiknya seret sekali. Yang datang banyak, yang membeli sedikit. Lalu, Abdul Latief mempelajari kenapa demikian. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dan dari penganalisaan data yang ada, ia berkesimpulan: daya beli masyarakat masih rendah. Solusinya : daya beli masyarakat harus ditingkatkan. Berarti harus ada tambahan penghasilan bagi masyarakat. Mulai saat itu, ia pun mengajak orang untuk berusaha sehingga pendapatan bertambah. Lalu, Abdul Latif mendirikan Hipmi pada tahun 1972 dan ia menjadi Ketua umum yang pertama. Ia mengarahkan para anggota Hipmi itu untuk segera membuka usaha, sekalipun usaha itu dalam ukuran paling kecil. Dari hasil binaan yang dilakukannya, maka banyak pengusaha kecil memproduksi barang-barang kerajinan tangan, mencari barang atau produk yang bisa dijual dan jadi uang, sehingga pendapatan bertambah. Abdul Latief membantu para pengusaha kecil untuk menitipkan barangnya di pasar swalayan kepunyaannya. Bahkan, Abdul Latief juga membantu para pengusaha kecil itu mengekspor produknya ke luar negeri. Lewat langkah-langkah itu, ekspor nonmigas naik. Devisa nasional bertambah, pertumbuhan ekonomi beranjak naik, tingkat beli masyarakat otomatis jauh lebih baik dibanding sebelumnya.

Komitmen Abdul Latief membesarkan pengrajin kecil, disamping karena memang dibutuhkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat terhadap produk pasar swalayan, juga untuk memenuhi permintaan Ir. Ginanjar Kartasasmita, menteri muda urusan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri saat itu, untuk meningkatkan produksi nasional. Sampai sekarang Abdul Latief masih tetap konsisten terhadap komitmen itu. Kegiatannya mendorong dan mengembangkan industri kecil itulah, maka ia dipercaya sebagai Ketua kompartemen perdagangan dan koperasi Kadin Indonesia periode 1979-1982. Bagi Abdul Latief, adanya kesenjangan antara pengusaha kecil dan pengusaha kuat, tidak lepas dari adanya perbedaan pengusaha pribumi dan pengusaha non pribumi di masyarakat kita. Pengusaha pribumi sering diartikan sebagai pengusaha lemah dan kecil sehingga perlu dilindungi dan diangkat. Ia melihat perbedaan pengusaha pribumi dan non pribumi sebagai sesuatu persoalan yang serius. Sehingga ia meminta pemerintah untuk menangani persoalan itu dengan cepat agar kesenjangan sosial itu tidak menimbulkan gejolak sosial. Menurut Abdul Latief, pengusaha kecil yang umumnya pengusaha pribumi tidak perlu diangkat dan dilindungi, tetapi didorong dan dikembangkan. Apalagi pada era globalisasi ini, negara-negara 4 macan Asia adalah hampir semuanya non-pribumi. Hal itu dikuatirkan menjadi masalah di kemudian hari, sebab, para pengusaha dari negara yang maju secara ekonomi itu, pasti akan lebih percaya menjalin bisnis dengan pengusaha sesama non pribumi. Sehubungan dengan itu, Abdul Latief melalui makalahnya yang berjudul “Konsep Mendorong dan Mengembangkan Pengusaha Pribumi,” ia mengajukan 4 dasar langkah pemecahan masalah tersebut. Pertama, Political Will pemerintah membantu pengusaha pribumi. Kedua, Konsep yang cocok untuk mengembangkan usaha pribumi yang sejajar dengan non pribumi, bukan konsep Alibaba. Bank pemerintah harus memprioritaskan pemberi kredit kepada pengusaha pribumi. Keempat, semua proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah sepenuhnya diserahkan kepada pengusaha pribumi. Hal itu disampaikan Abdul Latief pada Seminar Pribumi dan Non-Pribumi yang diselenggarakan Editor pada HUT-nya yang ke-4 tahun 1991 yang lalu.

Kini, Abdul Latief terus melaju dengan Alatief Corporation. Makin banyak mitranya makin banyak perusahaan kecil yang dibimbing dan dimajukannya. Bidang usahanya sudah merebak ke berbagai jenis usaha, tidak lagi hanya pada bisnis retail seperti yang ditekuninya ketika mulai berusaha. Dari puluhan jenis usaha, Pasaraya lah yang menjadi tulang punggung bisnisnya Abdul Latief mengkoordinir pengawasan semua unit usaha itu melalui Alatief Investment Corporation. Gedung Sarinah Pasaraya di Blok M, Jakarta Selatan, adalah salah satu pertokoan yang megah di Ibukota. Di gedung berlantai sembilan itu, terlihat segala macam keperluan rumah tangga. Baju-baju yang trendy dan modis, mulai dari yang agak murah sampai yang paling mahal, tersedia di supermarket yang nyaman itu. Ribuan jenis produk kerajinan tagan dari industri kecil / industri rumah tangga sampai produk-produk elektronik, ada di tempat itu. Dari pagi sampai malam, para pramuniaga yang ramah selalu menyapa melayani para pembeli di gedung yang bernilai Rp. 200 miliar itu. Abdul Latief menyesalkan berdirinya beberapa pusat pertokoan modern di Jakarta, yang jelas-jelas mematikan pengusaha kecil dan tradisional. Industri kecil itu sepertinya tidak mendapat tempat untuk hidup, sebab ia memang tidak mempunyai kemampuan bersaing dengan pengusaha modal besar. Gejalanya, memang pengusaha sekelas raksasa masuk ke pasar tradisional. Sehingga pengusaha kecil itu tergusur atau tenggelam. Mestinya pemerintah mencegah para pemodal kuat itu untuk tidak sembarangan masuk ke pasar yang pangsa pasarnya merupakan lahan pengusaha kecil. Ketika salah satu pasar swalayan terbesar di dunia dari Jepang, yaitu SOGO, membuka cabangnya di Indonesia, Abdul Latief termasuk salah seorang yang bersuara keras menentang kehadirannya. Alasan penolakannya, karena saat itu beredar isu modal asing akan masuk ke bisnis eceran di Indonesia. Ia juga mempertanyakan kenapa Sogo memasukkan 805 produk impor, justru bukan memajukan produk dalam negeri. Padahal, jauh sebelum itu, Abdul Latief memang sudah terikat pada komitmennya untuk memajukan produksi nasional. Menurut pikirannya, pemodal kuat dalam negeri saja sudah mulai mengganggu kehidupan pengusaha kecil, apalagi kalau pengusaha yang datang itu dari luar negeri. Bukankah setiap kali Sogo masuk ke suatu pusat pertokoan, pesaing yang sudah ada biasanya minggir. Tapi ternyata bukan modal asing, dan pangsa pasar Sogo pun juga tidak sama, akhirnya Abdul Latief tidak terlalu keberatan lagi. Memang Abdul Latief mempunyai pertokoan di Blok M, tetapi tidak di pusat pertokoannya. Pasaraya Sarinah menjadi pendukung Pasar Tradisonal Blok M. Konsep yang dikembangkan Pasaraya, menurut Abdul Latief, membeli tanah, membangun gedung, dan membuat kavling pasar baru. Kalau masuk ke pusat pertokoan, memang cepat maju, tetapi itu intervensi namanya, membunuh orang lain, kata Abdul Latief.

Dampak konsep yang dikembangkan Abdul Latief, pasar swalayannya tidak sekencang kemajuan pasar swalayan bermodal kuat itu. Untuk mengatasi dampak ini, ia melakukan sesuatu secara kreatif, agar orang mau datang dan akhirnya berbelanja mengembangkan produk dagangan model yang menarik. Disain baju misalnya, dilakukan dengan mode dan disain yang paling akhir, persis sama dengan mode yang dikembangkan di negara-negara yang kaya mode seperti Perancis. Ini tidak terlalu sulit bagi Abdul Latief, karena ia sendiri juga penggemar model. Itulah sebabnya, setiap hari, ia selalu tampil dengan busaha yang berdisain menarik. Di segi lain, disamping keramahan pelayanan, bentuk dan disain ruangan pertokoan menjadi faktor yang harus diperhatikan penataannya. Menurut Abdul Latief, perusahan bentuk dan disain ruangan pertokoan, dilakukan terus menerus untuk menghindari kebosanan para pengunjung. Kalau perlu, sekali dalam tiga tahun, dilakukan renovasi-renovasi. Melalui penataan pasar swalayan dengan konsep tidak dipusat perbelanjaan tradisional itu, Abdul Latief mengembangkan tiga macam filosofi. Pertama, pengusaha kecil adalah bagian dari kemajuan jenis usaha yang berskala lebih besar. Karena itu, yang kecil memang harus diperhatikan dan diberi tempat yang wajar. Kedua, pengelolaan pasar swalayan harus selangkah lebih maju dari keinginan konsumen. Artinya, yang disediakan di pasar swalayan tidak hanya sekedar yang diinginkan oleh konsumen. Tetapi, apa yang menjadi keinginan konsumen berikutnya. Dalam hal ini perlu antisipasi, sebab situasi terus mengalami perubahan dan perkembangan. Ketiga, lewat berbagai jenis produk dagangan dengan segala inovasinya, dan kreativitas menata produk jualan itu di pertokoan, serta imajinasi mendesain bentuk ruangan yang menarik, akan mencerminkan identitas bangsa. Budaya bangsa terlihat dengan mudah melalui pembuatan dan penjualan produk di pasar swalayan itu.

Sukses di pasar swalayan, ia membuka pembibitan benur di Bulikumba, Sulsel. Usaha itu menghasilkan 100 juta benur pertahun. Abdul Latief juga membuka tambak udang seluas 120 hektar dengan hasil 4 ton per hektar. Dua sampai tiga kali panen dalam setahun. Ia mengelola beberapa perkebunan, membuka usaha penerbitan buku, dan usaha jasa periklanan, asuransi dan berbagai jenis bisnis yang lain. Sambil melakukan ekspansi bisnis, Abdul Latief juga tertarik pada bidang pendidikan dengan tiga alasan. Pertama, ia memang membutuhkan sejumlah besar tenaga terampil di berbagai bidang. Kedua, ia ingin ikut berusaha meningkatkan kecerdasan warga negara umumnya dan generasi muda khususnya. Ketiga, Abdul Latief adalah pernah menjadi guru, malah menjadi Direktur Akademi Pimpinan Perusahaan Departemen Perindustrian, tempat ia belajar. Salah satu Sekolah yang ingin ia dirikan adalah Sekolah Politeknik. Pendirian Sekolah itu merupakan salah satu kegiatan dari Yayasan Abdul Latief yang didirikan dan diketuainya sendiri. Dari berbagai aktivitasnya yang begitu padatnya. Abdul latief selalu berusaha menjaga kesehatan fisiknya. Setidaknya, ia melakukan general check up dua kali setahun. Secara rutin ia olahraga joging, senam, renang, teknis, dan kalau ada waktu main golf. Ia selalu olahraga pagi, terutama untuk menghindari ketegangan-ketegangan. Ia ingin hidup dalam kondisi segar, fit, energik. Tubuhnya padat, gesit, perut tidak buncit.

Itulah Abdul Latief yang mencatat kesuksesan-kesuksesan selama hidupnya. Mulai dari Predikat tamatan cum laude di APP, kemudian menjadi pimpinan promosi Pasar Sarinah, keliling berbagai negara, memberanikan buka usaha sendiri, maju, sukses, lalu gagal, sukses dan berkembang lagi, sampai menjadi pengusaha yang besar seperti sekarang ini. Bagi Abdul Latif, sebenarnya masih ada 25 tahun lagi waktu buatnya untuk berkiprah di dunia bisnis. Namun, ia sudah memasang ancang-ancang untuk memperbesar porsi kegiatan sosial budaya lewat yayasannya. Ia juga telah mempersiapkan generasi keduanya untuk melanjutkan dynasty Alatief Investment Corporationnya. Abdul Latief adalah lambang kesuksesan pedagang berdarah Minang di zaman orde baru. Berasal dari salah satu suku yang sudah terkenal gigih berdagang selama beradab-abad.